Berbagai kebijakan yang mengarah ke jalan demokratisasi serta pembaruan pemerintahan telah dilakukan olehnya, seperti: mengajarkan kepada rakyatnya untuk hidup secara demokratis; tidak menggunakan kekuasaan secara berlebihan; menggunakan kekuasaan untuk kepentingan umum; terbuka terhadap nilai-nilai keanekaragaman; masyarakat berhak menyampaikan aspirasi ke Keraton; memilih pejabat secara langsung melalui pemilihan; dan juga membentuk staf khusus penampung aspirasi masyarakat.
Tahun 1944, pada tahun tersebut, ia mencoba untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat luas untuk turut serta dalam proses pemerintahan di semua tingkatan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX benar-benar paham akan arti demokratisasi. Belajar mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk lain demokrasi yang dihadirkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja masih dituntut untuk mempertahankan sistem monarki yang pada saat itu masih hidup di Yogyakarta. Selain itu, demokratisasi yang dilakukan di Yogyakarta tidak lain juga merupakan strategi untuk mempertahankan eksistensi Keraton sebagai bagian dari Republik Indonesia yang ke depan juga akan menganut sistem demokrasi. Berangkat dari hal tersebut, perubahan secara mendasar yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja adalah memodernisasi sistem pemerintahan dengan cara mengubah bentuk pemerintahan dari monarki absolut yang identik dengan Keraton Yogyakarta menuju ke aristokrasi demokrasi, atau mengarah pada prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan wibawa yang dimilikinya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX berhasil meyakinkan kepada rakyat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik yang bisa digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Sultan Hamengku Buwono IX adalah sang demokrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H