Narasi tentang bagaimana tempat kita tumbuh seolah mendikte di mana usia menjadi tolak ukur yang mutlak untuk mendefinisikan pencapaian seseorang.Â
Ada batas yang samar-samar untuk menilai kehidupan seseorang hanya dengan angka dan dengan ujaran 'seharusnya begini bukan begitu'.Â
Adakalanya, kita merasa sangat percaya diri terhadap sesuatu, lalu akan ada saat di mana kita mempertanyakan kembali, "apakah sebenarnya apa yang kita lakukan sudah cukup atau hanya membuang waktu percuma."Â
Film Tick, Tick... Boom! adalah serangkaian kisah yang demikian terasa dekat dengan semua orang dengan balutan drama musikal oleh lagu-lagu nostalgia Jonathan Larson.
Jonathan Larson yang diperankan Andrew Garfield bukan seorang komposer yang sedang naik daun melainkan seorang putus asa yang sedang dalam perjalanan menuju pelupaan.
Larson sedang diliputi ketakutan akan usianya yang sebentar lagi menginjak tiga puluh tahun.Â
Baginya angka itu serupa sebuah tekanan yang berarti ia akan kehilangan masa mudanya dan janji kepada dirinya sendiri karena telah kehabisan waktu.
Membuat karya seni baginya adalah salah satu pekerjaan yang akan ia lakukan sepanjang hidupnya.Â
Lagu-lagu itu, ia tulis di bawah kamar di suatu apartemen di suatu tempat di tepi Soho yang hampir roboh dan listrik yang hampir mati karena ia tidak mampu membayar tagihan.Â
Untuk membuatnya tetap menghasilkan uang, ia bekerja sebagai pelayan di Moondance Diner meskipun dia hampir bangkrut dan uang yang ia hasilkan tidak pernah cukup untuk membuat pertunjukanya sendiri.Â
Ia menggantungkan semua harapannya pada pertunjukkan lokakarya musikal fiksi ilmiah itu. Ia merasa hal itu harus terjadi sebelum usianya benar-benar menginjak tiga puluh tahun.
Keadaan Berkabung Terus Menerus
Tidak ada yang lebih sulit dibanding melihat pencapaian orang-orang sekitar yang sedemikian cemerlang dan mentereng sementara apa yang kita hadapi masih di tahapan mencari jalan keluar dari kehidupan yang sulit.Â
Orang-orang terus bertumbuh dan kita hanya berjalan di tempat yang sama tetap angkuh dengan pikiran sendiri.
Jonathan Larson sedang berada di keadaan yang seperti itu kurang lebih. Ia telah lama menjalin hubungan dengan Susan (Alexandra Shipp) seorang penari kontemporer, namun sedikit lebih banyak mendapat pengakuan dan kesuksesan secara profesional.Â
Hubungan ini kemudian ia pertanyakan semenjak Susan mendapat tawaran pekerjaan di sebuah perusahan tari di Berkshires, dan Jonathan tidak bisa membuat keputusan yang tegas akan hal itu.Â
Susan berpikiran untuk mengajaknya k esana. Jonathan ingin bersamanya, tapi di sisi lain tidak bisa meninggalkan karirnya di sini yang hampir menemui titik terang.Â
Jonathan tidak mengiyakan, tidak menolak, tidak salah satunya. Ia mengulur waktu sampai waktu tidak bisa menunggunya lagi.
Satu hal lagi dimana ia merasa kini ia benar-benar sendiri dan segala sumber inspirasinya mengering. Ia akan ditinggalkan hanya dengan dirinya sendiri sebagai seorang kegagalan yang menyedihkan.
Baru-baru ini ia ditinggalkan oleh sahabat seumur hidupnya, Michel (Robin de Jess). Ia pernah berdebat dengannya setelah Jonathan sengaja mengacaukan nama baiknya di suatu diskusi grup untuk sebuah iklan.
Ia mencela Michel yang terlalu mendewakan uang, sebaliknya Michel menganggap Jonathan terlalu idealis yang selalu berpikir membuat seni adalah sesuatu yang besar dan paling besar diantara pekerjaan lainnya.Â
Barangkali karakter Michel adalah representasi orang-orang yang menyerah akan mimpinya dan beralih untuk menjalani hal yang bisa membuatnya menikmati hidup.Â
Ia menukar karir keaktoranya dengan bisnis dalam periklanan, mobil mewah, serta apartemen modern bersih di kawasan Upper East Side New York.
 Pencarian Eksistensi di Tengah Life Crisis
Life crisis seolah menjadi suatu fase yang lumrah dialami oleh kebanyakan orang. Suatu keadaan di mana seseorang mempertanyakan eksistensi diri yang seringkali berujung pada overthinking yang tak berkesudahan.Â
Pada film ini Jonathan Larson mengalami life crisis tepat saat usianya akan menginjak tiga puluh tahun. Walau sebenarnya keadaan ini tidak menentu akan terjadi kapan saja --bahkan bisa terjadi sepanjang waktu.
Eksplorasi hidup dengan life crisis pernah dibingkai dalam unsur musikal pada film animasi Disney-Pixar garapan Pete Docter yang berjudul Soul (2020).Â
Joe Gadner seorang musisi jazz selalu menginginkan gig pertamanya namun di saat ia berhasil mendapatkannya ia malah hampir mati dan membuat berada di Great Beyond jembatan di ambang batas kematian menuju alam baka.
Pola yang hampir sama dengan tokoh Jonathan yang sama-sama mengantungkan hidup pada musik yang tidak menjamin kehidupan bagi mereka.
Musik direpresentasikan menjadi sesuatu yang sulit di gapai oleh sebagian orang seperti Larson dan Gadner di tengah kerasnya New York.Â
Sebuah proses yang mati-matian sampai akhirnya mereka mendapatkan panggung pertamanya.Â
Namun baik Larson maupun Gadner merasa ada yang salah setelah menyelesaikan pertunjukan lokakarya musikalnya.Â
Ternyata apa yang Larson pikir sebagai akhir ternyata hanya awal untuk membuka proses panjang dan melelahkan berikutnya.Â
Ketakutan itu kini terasa nyata, apakah yang ia pertaruhkan selama delapan tahun ini pada akhirnya hanya begini saja? Apakah tiap peluh yang menetes itu ternyata tidak menghasilkan apa-apa? Apakah menyerah adalah jalan terbaik?
Lantas pertanyaan berikutnya apakah life crisis hanya terjadi saat seseorang yang telah menemukan "percikan" dalam diri seperti yang disebutkan dalam Soul.Â
Rupanya pandangan lain mengenai life crisis diungkapkan dengan cara yang berbeda melalui film The Art of Getting By (2011) pada tokoh George dan The Spectacular Now (2013) pada tokoh Sutter.Â
Karakter penggerak cerita dalam kedua film tersebut menjadi sedemikian cocok sebagai representasi seseorang yang tidak memiliki ambisi dalam hidupnya.
George dan Sutter merupakan siswa SMA yang tersesat dalam penemuan jati diri. George yang terlanjur antipati dengan kehidupan sosialnya dan kehilangan gairah untuk hidup.Â
Berbanding terbalik dengan Sutter, ia menjadi seseorang yang suka pesta dan menggunakan sepanjang waktunya untuk bersenang-senang, berhura-hura.Â
Bagi Sutter ia hidup untuk hari ini, tidak memperhitungkan bagaimana hari akan berjalan besok. Meminjam kalimat Sutter di akhir cerita,Â
"It's fine to live in the now. But the best thing about now is that there's another one tomorrow"-Sutter, 2013
Memang akan selalu ada hari berikutnya, namun sayangnya hari esok tidak untuk setiap orang. Jonathan Larson adalah salah satunya.Â
Menjelang akhir film Tick, Tick... Boom! Jonathan Larson diceritakan mati di malam sebelum teater broadway yang berjudul "Rent" berhasil digelar secara besar-besaran.Â
Dunia kehilangannya saat ia berusia 35 tahun akibat anuriesme aorta akibat sindrom Marfan yang tidak terdiagnosis sebelumnya.Â
Sejatinya film ini merupakan film semi autobiografi seorang komposer Jonathan Larson arahan Lin-Manuel Miranda dan ditulis oleh Steve Levenson.
Sebagai film autbiografi, film ini tidak cukup kuat untuk dikatakan demikian. Film ini tidak cukup melakukan eksplorasi lebih dalam mengenai sosok Jonathan Larson.Â
Namun film ini bisa mengobati kerinduan bagi penikmat karya-karya Jonathan Larson. Lagu-lagu yang menjadi nadi film ini sebagai film musikal terasa dekat, hangat, dan memikat.Â
Terlebih pada lagu yang berjudul "Come to Your Sense" terasa sangat candu dengan aransemen yang cathcy. Â
Film ini bukan lagi menceritakan perjalanan hidup seorang Jonathan Larson yang namanya besar bahkan ketika ia sudah tidak ada di dunia ini lagi. Tetapi tentang bagaimana jatuh dan bangkitnya seorang Jonathan Larson untuk mendapatkan pertunjukan musikal pertamanya. Dan tentang berkali-kalinya ia menghadapi kehilangan cinta, persahabatan, dan hidupnya sendiri.
Film Tick, Tick...Boom! pada akhirnya menjadi refleksi bahwa siapapun tidak berhak menentukan batas di mana hal yang kita pertaruhkan terasa cukup. Adanya batas membuat kita berjarak akan pencapaian tak terbatas lainnya. Pertanyaan berikutnya, apakah kita sudah cukup berusaha? Are we ever doing enough to achieve a goal we set out to do?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H