Namun baik Larson maupun Gadner merasa ada yang salah setelah menyelesaikan pertunjukan lokakarya musikalnya.Â
Ternyata apa yang Larson pikir sebagai akhir ternyata hanya awal untuk membuka proses panjang dan melelahkan berikutnya.Â
Ketakutan itu kini terasa nyata, apakah yang ia pertaruhkan selama delapan tahun ini pada akhirnya hanya begini saja? Apakah tiap peluh yang menetes itu ternyata tidak menghasilkan apa-apa? Apakah menyerah adalah jalan terbaik?
Lantas pertanyaan berikutnya apakah life crisis hanya terjadi saat seseorang yang telah menemukan "percikan" dalam diri seperti yang disebutkan dalam Soul.Â
Rupanya pandangan lain mengenai life crisis diungkapkan dengan cara yang berbeda melalui film The Art of Getting By (2011) pada tokoh George dan The Spectacular Now (2013) pada tokoh Sutter.Â
Karakter penggerak cerita dalam kedua film tersebut menjadi sedemikian cocok sebagai representasi seseorang yang tidak memiliki ambisi dalam hidupnya.
George dan Sutter merupakan siswa SMA yang tersesat dalam penemuan jati diri. George yang terlanjur antipati dengan kehidupan sosialnya dan kehilangan gairah untuk hidup.Â
Berbanding terbalik dengan Sutter, ia menjadi seseorang yang suka pesta dan menggunakan sepanjang waktunya untuk bersenang-senang, berhura-hura.Â
Bagi Sutter ia hidup untuk hari ini, tidak memperhitungkan bagaimana hari akan berjalan besok. Meminjam kalimat Sutter di akhir cerita,Â
"It's fine to live in the now. But the best thing about now is that there's another one tomorrow"-Sutter, 2013
Memang akan selalu ada hari berikutnya, namun sayangnya hari esok tidak untuk setiap orang. Jonathan Larson adalah salah satunya.Â