Mohon tunggu...
Syifa Aulia
Syifa Aulia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

enjoy writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Digital Menghapus Jejak Budaya

18 Desember 2024   10:20 Diperbarui: 18 Desember 2024   10:20 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan zaman dan modernisasi yang seakan tak ada habisnya, telah menggeser Sebagian besar kebudayaan bahkan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru. Hal ini masuk akal, mengingat makin bertambahnya inovasi atau penemuan baru dari manusia yang menciptakan kemajuan teknologi dan membuat peradaban selalu tampil modern dan "modis" sesuai dengan zamannya. Sehingga, kebudayaan yang identic dengan hal yang "lama", sangat kontradiktif dengan "pembaharuan" yang senantiasa diciptakan oleh modernitas. Tentu pembaharuan ini akan sangat berkorelasi dengan teknologi. Yakni, segala sesuatu yang memudahkan kehidupan manusia, jadi teknologi bukan tentang digital dan lain-lain.

Adakah contoh kebudayaan yang "untouchable" hingga kini?

Nyaris tidak ada, karena globalisasi mampu menjangkau seluruh penjuru. Meskipun kebudayaan masih tetap ada dan keberadaanya masih mendapat pengakuan, bagaimana dengan anak keturunannya? Generasi muda yang mungkin, tak lagi terlalu peduli dengan seluk beluk adat istiadat. Sudah terlalu banyak informasi dan kebudayaan luar yang bisa dipaparkan dari jejaring media social. Adapun  Kebudayaan yang baik tentu harus dipertahankan apalagi yang meningkatkan moralitas Masyarakat. namun, kebudayaan yang lebih banyak mudharat dan berkedok "warisan leluhur" masih terus dipertahankan hingga kini, untuk apa?

Contoh nyata di Indonesia adalah budaya yang memberi mudharat  atau kerugian dan wujud ekspresi menolak sains dan ketentuan tuhan adalah boneka yang dipercaya diisi oleh roh dan mampu memanggil hujan, "cingcowong" Namanya. Yang saat ini masih dilakukan oleh sejumlah Masyarakat kuningan, Jawa barat. Di Tengah majunya peradaban dan ilmu pengetahuan, ini adalah bentuk ketertinggalan yang masih dipertahankan dengan embel-embel warisan leluhur. Mungkin pada zaman dahulu, belum ada penjelasan valid dan ilmiah bagaimana hujan bisa turun dan Langkah apa yang bisa dilakukan jika hujan;air;sumber kehidupan tidak ada. Sehingga dengan keterbatasan ilmu itu, bisa saja dikatakan wajar masyarakat masa lalu belum memahaminya dan malah menggunakan sarana buatan manusia untuk menggerakkan alam semesta.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, teknologi adalah factor pendorong perubahan kebudayaan, penemuan baru mempercepat terjadinya. Contoh dalam kehidupan sehari-hari yang nyata ialah cara Masyarakat berbelanja, yang dulunya untuk membeli kebutuhan pangan saja misalnya, orang akan langsung pergi ke pasar. Namun, pada masa kini, seseorang dapat membeli apapun secara online atau jarak jauh. Sesorang dapat berbelanja sambil rebahan, membeli barang dari luar kota bahkan luar negeri, dan mayoritas harga produk di aplikasi belanja online jauh lebih murah dibandingkan toko offline.

Contoh lain adalah transportasi, kini semua beralih ke Gerakan digitalisasi. Hingga ojek pun bisa dipesan online via aplikasi, yang dulunya ojek selalu menunggu saja di pangkalan. Ojek pun kini memiliki dwifungsi, tak hanya mengantarkan manusia tetapi juga makanan maupun barang. Ini tentu semakin memudahkan manusia dalam keterjangkauan dan aksebilitas yang makin ringkas.

Namun semua kenikmatan yang ditimbulkan dari modernasasi kebudayaan ini bukan berarti tanpa celah. Aksi demonstrasi pedagang di pasar dan ojek di pangkalan, cukup menjadi bukti bahwa tak seluruh kalangan Masyarakat menerima cepatnya perubahan budaya itu terjadi.

Perubahan budaya juga memiliki sisi impostor, karena  dengan adanya modernisasi, kebudayaan yang sudah ada sejak lama bahakan bisa tergerus bahkan lenyap. Contohnya sikerei, seorang tabib di Mentawai. Sikerei mengobati dengan tanaman herbal disekitar mereka, sehingga cukup masuk akal jika selama ini, kebanyakan penyakit yang dirasakan penduduk local  Mentawai, pasti berobat padanya. Tak ada sikerei baru selama 10 tahun terakhir ini, bahkan anak dari seorang sikerei tidak ingin melanjutkan budaya orang tua mereka tersebut. Karena telah banyak orang mentawai yang berkelana keluar dan memperoleh pengetahuan baru. Para sikerei yang masih ada di Mentawai saat ini bisa terbilang sudah sepuh semua, sehingga jika dalam 10 tahun terakhir ini tak ada yang meneruskan mereka, kebudayaan otentik Mentawai ini berpotensi hanya tinggal cerita Sejarah saja.

Kendati demikian, dalam hal menyikapi apapun, sudah pasti kita mesti memiliki filter. Mengambil sisi baik dan menepis jauh-jauh nilai negative. Dalam hal perubahan kebudayaan pun, kita harusnya bisa merespons dengan baik. Tak semua hal yang dibawa dan ditawarkan dalam modernisasi itu buruk, dan tak semuanya juga baik bagi seluruh orang. Setiap dari kta membawa kebudayaan masing-masing sejak lahir di tanah air ini. Tak elok sekiranya kita sampai melupakan budaya-budaya baik yang telah ditanamkan oleh nenek moyang sedari dahulunya. Contohnya budaya untuk menghormati orang yang lebih tua dengan menyalaminya dengan santun. Walaupun tidak semua orang tua atau orang yang disegani ingin diperlakukan seperti itu, tapi bisa dilihat dari maknanya, sebagai wujud penghormatan dan kepatuhan generasi yang lebih muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun