Terorisme telah menjadi isu internasional sejak terjadinya peristiwa serangan bunuh diri di gedung World Trade Center (WTC) New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 silam. Peristiwa tersebut mengubah pandangan global terhadap isu terorisme, dimana terorisme tadinya dianggap sebagai isu keamanan domestik yang hanya terjadi di dalam suatu negara saja, berubah menjadi isu keamanan pada tingkat internasional.
Terorisme sendiri merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan politik tertentu dengan menggunakan kekerasan untuk menciptakan ancaman dan ketakutan pada warga sipil. Penggunaan kekerasan yang terorganisir ini merupakan strategi kelompok teroris dalam melakukan aksi mereka, hal tersebut bertujuan untuk menarik perhatian otoritas tertinggi yakni pemerintah atau negara supaya tuntutan-tuntutan mereka dapat terpenuhi.
Dalam perspektif liberal terorisme dianggap sebagai suatu tindakan atau upaya yang dilakukan oleh aktor non-negara yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara tertentu.
Perspektif liberal beranggapan bahwa terorisme merupakan suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan atau aksi kejahatan terhadap warga sipil yang dimotivasi oleh ideologi politik maupun agama. Dimana ketidakadilan suatu rezim tertentu mendorong seorang individu maupun kelompok untuk melakukan aksi terorisme. Selain akibat rasa ketidakadilan, dalam perspektif liberal ekstrimisme agama juga memotivasi seorang individu maupun kelompok untuk melakukan tindak terorisme.
Rasa frustasi yang dialami oleh kelompok agama terutama mereka yang mengalami diskriminasi tertentu merupakan celah yang dimanfaatkan para kelompok teroris dalam merekrut mereka melakukan aksi terorisme. Tidak terpenuhinya hak-hak individu atau kelompok yang gagal diberikan oleh pemerintah bisa menjadi pemicu aksi kekerasan sebagai bentuk tuntutan mereka.
Terorisme telah muncul dan terjadi sejak akhir abad-19 dan terjadi hampir di seluruh negara di dunia saat menjelang Perang Dunia I. Pada awalnya terorisme merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang menuntut adanya perubahan atau revolusi, baik politik maupun sosial. Hingga pasca Perang Dunia II, terorisme masih berupa gerakan dengan tujuan nasionalis dan separatis yang berupaya mendorong adanya perubahan di dalam suatu negara. Namun, sejak tahun 1980-an terorisme mulai beralih tujuannya menjadi tujuan keagamaan, agama menjadi motivasi penting dibalik terjadinya serangan terorisme. Motivasi agama tersebut salah satunya berupa janji atau imbalan surga mendorong beberapa teroris untuk melakukan pembunuhan kepada orang yang dianggap tidak beriman.
Pasca tahun 2000 globalisasi mulai mempengaruhi negara-negara di dunia, karakteristik terorisme pun mulai mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut membawa dampak yang sifatnya negatif berupa peningkatan jumlah korban akibat teroris. Peristiwa 9/11 merupakan peristiwa yang memengaruhi dinamika perkembangan isu terorisme dalam dunia internasional. Menurut Our World in Data total kematian akibat terorisme selama kurun waktu 1970 hingga 2000 diperkirakan berjumlah 144.605 korban jiwa. Sedangkan periode setelah tahun 2001 hingga 2020 sebanyak 334.743 dengan kenaikan signifikan pada tahun 2014. Hal ini menegaskan bagaimana peristiwa 9/11 memberi dampak cukup besar dalam meningkatnya aksi terorisme setelah tahun 2000.
Peningkatan jumlah korban terorisme tersebut tidak dapat lepas dari banyaknya anggota teroris yang tersebar di seluruh negara yang ada di dunia. Mudahnya akses pertukaran barang dan jasa, serta mudahnya akses teknologi sebagai akibat adanya globalisasi menyebabkan jaringan terorisme berubah, terutama kemajuan proses rekrutmen anggota kelompok teroris. Tak hanya itu, aksi terorisme yang semula cenderung berskala nasional meluas hingga menjadi skala transnasional. Anggota kelompok teroris yang semula hanya sebatas domestik kini menjadi lebih luas dan menjaring anggota-anggota dari seluruh negara yang ada di dunia.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa agama mulai melatarbelakangi aksi terorisme pada periode 1980-an, hal tersebut masih terus berlanjut hingga saat ini dimana agama menjadi narasi utama dibalik aksi-aksi terorisme yang terjadi. Setelah tahun 2000 dimana batas-batas antarnegara semakin menipis akibat adanya globalisasi, kelompok ekstrimis islam merasa tersisihkan akibat nilai-nilai barat yang lebih mendominasi. Para ekstrimis Islam pun beranggapan bahwa hanya terdapat satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah diajarkan di dalam agama mereka yaitu dengan cara memberontak, yang mereka sebut sebagai jihad. Jihad sendiri merupakan suatu usaha/upaya yang dengan sungguh-sungguh membela kebaikan Islam. Namun para teroris memiliki pengertian yang berbeda mengenai jihad, teroris mengartikan jihad sebagai perang dan tindak kekerasan yang tidak pandang bulu terhadap siapapun yang dianggap tidak beriman atau orang kafir.
Pasca tahun 2000, serangan terorisme cenderung didominasi oleh serangan bom bunuh diri terutama dari tahun 2002 hingga tahun 2018. Serangan bom bunuh diri ini kerap kali menimbulkan banyak korban jiwa berjatuhan. Salah satu peristiwa serangan bom bunuh diri yang paling menggemparkan dunia internasional adalah peristiwa bom bunuh diri yang terjadi pada tahun 2015 silam, tepatnya pada 13 November 2015 di Paris, Prancis.
Mengutip dari Detiknews peristiwa tersebut terjadi sedikitnya di tujuh titik di kota Paris, diantaranya Aula Bataclan, restoran-restoran di Kota Paris, dan stadion nasional yang menyebabkan terdapat total 153 orang tewas dengan 112 diantaranya tewas di Aula Bataclan dimana sebelumnya terdapat 100 orang yang disandera di gedung tersebut. Kelompok militan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Kelompok ISIS sendiri merupakan kelompok teroris berlatar belakang narasi ekstremis Islam paling besar di dunia.