Dodo/Kompas.com
Dzulfikar Akbar Cordova (21) atau yang akrab dipanggil Dodo, pengamen jalanan yang lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) 2015 kini menjadi buah bibir masyarakat pasca dirinya diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Indonesia.
Keterkenalan Dodo dengan predikat baru mahasiswa UI nya tak lepas dari andil media massa. Sejumlah media massa baik cetak, online maupun elektronik berlomba-lomba menyulap kasus ini menjadi sesuatu yang 'wah' sesuatu yang mengharu-biru sesuatu yang terkesan janggal.
Sejak keberhasilannya menembus kampus kuning tercium media, mendadak Dodo menjadi tenar. Tak habis-habisnya kisah remaja biasa berusia 21 tahun ini digali oleh media mulai dari Dodo yang 'hanya' lulusan sekolah Masjid- Terminal (Master) Depok, kisah dramatis Dodo yang sempat ditahan di panti sosial karena terjaring razia ketika hari pengumuman, kisah hidup Dodo sehari-hari sampai latar belakang keluarga Dodo yang sederhana. Semua isu ini tak luput dinaikan media ke permukaan.
Â
Apa Yang Salah?
Media seolah menjadikan keberhasilan Dodo menembus UI sebagai fenomena luar biasa yang baru pertama kali ditemukan. Pagi sore media mengagung-agungkannya. Padahal apa yang salah dengan keberhasilan seorang pengamen melewati tes masuk UI? Biasa saja. Semangat Dodo yang tinggi untuk melanjutkan pendidikan memang patut diapresiasi, namun lebih dari itu tidak ada yang istimewa dari fenomena seorang pengamen lulus tes masuk UI, sekali lagi, bagi saya itu merupakan hal biasa. Mengapa biasa? Karena UI sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang sudah seyogyanya membumi, menjadi milik seluruh anak negeri bukan hanya kelas menengah atas. Seluruh anak negeri termasuk pengamen sekalipun. Tidak ada yang istimewa ketika seorang remaja pengamen berhasil mendapat bangku kuliah di UI. Logikanya begini: kalau memang lulus tes ya apa yang aneh dengan seorang mahasiswa yang masuk UI. Jika media menganggapnya aneh dan luar biasa hanya karena latar belakang Dodo yang seorang pengamen, dengan begitu media massa di Indonesia telah melanggengkan jalan bagi diskriminasi sosial. Artinya media seolah mengamini bahwa UI hanya milik golongan ekonomi mampu, bahwa rakyat jelata yang berhasil menembus UI sebagai sesuatu yang super.
Jika sudut pandang seperti ini yang masih terus digalang media, sungguh miris media di Indonesia telah melanggengkan diskriminasi sosial dan diskriminasi profesi dengan membentuk opini publik bahwa pengamen masuk UI adalah sesuatu yang 'patut dirayakan' Padahal amanat UUD 45 telah menjamin bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha, nah jika begini fenomena pengamen masuk UI seharusnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Pengamen punya kesempatan yang sama dengan orang lain, termasuk dalam hal menjadi mahasiswa atau menembus kampus. Semua itu tergantung seberapa keras usaha seseorang memperjuangkan kemauannya.
Dengan menyulap keberhasilan Dodo yang diterima menjadi mahasiswa UI menjadi sesuatu yang 'wow', media sadar atau tidak telah melanggengkan diskriminasi sosial. Sesuatu yang melenceng dari fungsi media masa: Fungsi pendidikan serta melenceng dari tujuan negara Indonesia Mencerdaskan kehidupan Bangsa, bukankah pendidikan adalah hak setiap anak negeri?
Â
Dodo Tetap Menginspirasi