-
Manis,
Setiap orang pasti pernah memasuki fase terendahnya, ya kita semua pernah. Kita pernah merasa dunia kecil kita mendadak jungkir balik ketika kerikil-kerikil menghantam perlahan Ya. Ada saat di mana pandangan kita hanya mampu tertuju pada gelap. Seakan hidup yang kita jalani adalah sebuah kesalahan.
Manis,
Ada saat-saat di mana kita merasa terlempar, dibuang, jadi pengganggu, membenci diri sendiri, bersalah pada orang lain, merasa tak diinginkan dan segala hal buruk lainnya yang mungkin kita rasakan sendiri saat ternyata praduga kita meleset setelah kita begitu mempercaya sesuatu atau seseorang. Kita semua pernah sesekali berada di titik itu Menyedihkan. Saat itu, sejenak kita melupa Tuhan. Dia yang maha membolak-balik keadaan, kita pun melupa garis batas antara mempercaya atau bergantung.
Manis,
Mungkin ada saat-saat kamu (Seolah) mau naik kereta ke neraka. Lari sejenak dari rumah, membeli tiket ke stasiun terjauh yang dilewati ular besi itu. Menjadi sangat egois pada kursi kereta, lupa memberikan untuk yang membutuhkan, turun di stasiun terakhir dan berfikir mau menyembunyikan diri di sana selamanya. Kemudian sadar kamu gak bawa cukup uang dan pakaian untuk bertahan lama-lama. Ya kesedihan itu terkadang bodoh, membuat orang jadi minim perhitungan. Mungkin sejumput kesadaran itu mengubah pikiranmu jadi hanya keluar stasiun dan mencari kedai kopi sederhana terdekat dari sana, tapi kamu memesan teh tawar tanpa gula.
Setawar rasa hidup yang kamu pikir saat itu. Kamu memesan beberapa butir pisang goreng yang akhirnya kamu buang ke tong sampah karena nafsu makanmu lenyap entah ditelan siapa.
Setelahnya, kamu kembali ke stasiun yang sama dan beli lagi tiket kereta menuju stasiun dekat rumahmu dan kamu akhirnya pulang dengan segala karut- marut dalam pikiranmu sendiri. Saat itu, cemasnya ibumu bahkan mungkin luput dari perhatian. Kesedihan, jika dibiarkan memang durhaka.
Manis,
Mungkin ada saat-saat dimana kamu sengaja membinasakan ponsel sementara, juga meliburkan diri sekian hari dari segala jenis makanan, hingga akhirnya terpaksa berakhir dalam perawatan rumah sakit dan membiarkan cairan infus itu yang memberimu makan, saat itu kamu lihat cemasnya ibumu yang terpaksa tidur di sofa kamar rumah sakit dan ayahmu yang tak mau beranjak pulang, menghawatirkan keadaanmu, Sudah begini kamu puas?
Dokter mendiagnosamu demam tifoid dan kamu terpaksa harus pisah lebih lama dengan ponselmu, satu-satunya hiburanmu adalah televisi 14 Inchi milik rumah sakit yang menyiarkan tayangan lokal yang jauh dari kata layak tonton. Salah siapa? Egomu sendiri yang bikin kamu masuk rumah sakit itu.
Aktivitasmu berantakan dan kamu rindu ponselmu juga TV kabel berlangganan di rumah kan? Tapi harus gigit jari karena masih harus istirahat hingga sembuh. Hingga dalam beberapa hari kamu mengerti bahwa setelah sembuh nanti, kamu harus memulai kembali aktivitasmu seperti sebelumnya, seperti biasa. Kamu harus pergi lagi ke tempat kamu harus pergi, mencari apa yang harus kamu cari, dengan atau tanpa navigasi kamu sadar kamu lebih kuat dari masalahmu dan tak akan menyerah dengan cepat. Apa pun caranya, kamu cari apa yang kamu perlu semampumu sampai dapat.
Manis,
Mungkin di hari pertama kamu boleh pulang dari rumah sakit kamu lega terbebas dari infus itu, kamu jadi mengerti arti menghargai makanan. Kamu mengaktifkan kembali ponselmu dan menemukan beberapa pesan dari teman-temanmu menanyakan keberadaanmu yang hanya kamu bisa balas dengan simbol senyuman supaya mengakhiri tanya dan kekhawatiran.
Seminggu setelahnya, kamu memulai aktivitasmu lagi dengan lebih perlahan dan hati-hati. Tapi, kamu memang harus tetap memasang senyum dengan "Tidak apa-apa," ya beberapa hal memang benar tidak apa-apa. Tapi kena lempar itu sakit, nenek-nenek juga tahu. Meski kamu berusaha tampak tidak kesakitan, karena memang harus demikian.