Setiap tanggal 9 Febuari, Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Hari Pers Nasional diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pengukuhan tanggal 9 Febuari sebagai hari pers nasional awalnya ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985. Dewan Pers kemudian menetapkan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibukota provinsi se-Indonesia.
Insan pers, mulai dari wartawan level reporter junior, reporter lepas, hingga pemimpin redaksi, bisa dikatakan sebagai ujung tombak informasi untuk masyarakat. Tak terhitung banyak pihak yang punya harapan besar pada profesi wartawan sebagai salah satu pilar pengayom masyarakat, penjaga demokrasi melalui kebebasan pers yang terbuka sejak era reformasi. Namun kebebasan pers yang kini terbuka luas juga membawa dua sisi, banjir informasi menjadi berkat sekigus bencana bagi jurnalisme.
Berbicara jurnalisme dan profesi jurnalis tentu tak lepas dari pekerjaan dan peran untuk masyarakat, prodak jurnalisme adalah berita dan obyek berita adalah kehidupan masyarakat.
Bertepatan dengan Hari Pers Nasional, masyarakat tentu mengharapkan mutu pers yang semakin baik dan mengayomi, kultur jurnalisme yang baik sudah selayaknya mau mendengarkan suara masyarakat, menampung kritik dan saran.
Di Kompasiana, sejumlah warga biasa sumbang suara melalui tulisan, ada beragam catatan sarat refleksi, harapan dan pelajaran dari warga untuk jurnalis. Hari Pers Nasional dan 4 Catatan Kritis Warga untuk Jurnalis, inilah intisarinya:
1. Berita Tak Akurat, Jangan Bilang karena Wartawan Juga Manusia
Akurasi berita seharusnya menjadi salah satu syarat penting sebuah berita sebelum diturunkan ke publik luas, namun sayangnya akurasi informasi seringkali diabaikan dalam berbagai berita di layar kaca kita, melalui tulisannya, Kompasianer Ajat R. Sudrajatmencontohkan pada pemberitaan Bom Sarinah Januari 2016 silam 4 Â stasiun TV berita kita menyiarkan informasi yang berbeda-beda mengenai lokasi persis bom tersebut. Informasi berbeda-beda yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Menurut Ajat, memang dalam setiap peristiwa yang menjadi perhatian publik selalu saja ditemukan ‘kejanggalan’ dari media dalam pemberitaannya. Lalu bila terjadi kekeliruan, boro-boro menyampaikan permintaan maaf, meralatnya pun seringkali telat. Itu pun kalau sudah ada teguran dari KPI.
Sampai disini, seringkali ada argumen kalau wartawan juga manusia yang wajar dimaklumi kalau salah, namun argumen tersebut menurut Ajat tak bisa dibenarkan. Mengapa?
Ulasan selengkapnya bisa dibaca di artikel tersebut.
2. HPN 2017, Menggugat Kepedulian Pers Nasional terhadap Penanggulangan HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS sampai saat ini masih dianggap momok oleh banyak kalangan masyarakat di Indonesia, Menurut Kompasianer Syaiful W Harahap, Aids yang masih menjadi momok bagi masyarakat, serta lambatnya penanggulangan AIDS tak lepas dari lemahnya peran media untuk peduli pada isu Aids itu sendiri.
Di mana kelemahan media kita terkait dengan isu HIV/AIDS? Ulasan selanjutnya bisa dibaca di artikel tersebut.