Bencana selalu bisa menjadi berita. Peristiwa malang yang terjadinya secara tiba-tiba itu tak ayal pasti memiliki banyak sisi dan nilai berita yang bisa dicari, digali, dan ditelusuri. Sayangnya, kebanyakan jurnalisme layar kaca di Indonesia masih menjadikan sisi korban sebagai obyek dan sudut favorit dalam pengambilan berita. Sering kali duka korban digali sedemikian rupa, ada korban yang ditanya-tanya kejadian yang menimpanya hingga tumpah air matanya, bahkan tak jarang korban menjadi histeris. Ironis, di tengah bencana dan kemalangan, stasiun TV justru seolah berlomba menyajikan jurnalisme iba dengan tangisan korban menjadi menu andalan.
Wawancara yang terus dilanjutkan meski narasumber nya bercerita sambil menangis dan meminta maaf atas prilaku anaknya seorang begal yang dibakar massa (Arsip KPI Pusat)
Contohnya dalam musibah kebakaran Kapal Zahro Express di Pulau Tidung yang terjadi belum lama ini, fenomena jurnalisme iba masih saja ada. Sebuah stasiun TV mewawancara korban selamat hingga histeris dan masih terus ditanyai.
Wawancara Tv dan liputan yang membuat keluarga korban bertambah berduka (Dok Arsip kpi pusat)
Tak hanya dalam wawancara, dalam sejumlah paket berita pun, tangis histeris korban dari suatu kejadian menjadi menu yang sering ditampilkan. Contoh lain yang masih melekat di benak penulis adalah ratapan pilu ibu kandung Angeline ketika tahu anaknya terbunuh dan ditemukan sudah meninggal. Hamidah ibu kandung Angeline meratap pilu memanggil nama anaknya sambil berlutut memukul-mukul papan pintu kamar jenazah rumah sakit. Suatu pemandangan yang memiriskan hati. Lebih miris lagi, elegi itu ditampilkan berkali-kali oleh sejumlah stasiun
televisi swasta di Indonesia yang siarannya menjangkau secara nasional-- stasiun televisi kita yang masih suka menampilkan jurnalisme iba demi memancing simpati pemirsa. Kala duka menjadi berita, di sana tak hanya ada tangis dan air mata, tapi ada pula napas bagi industri televisi kita. Napas berbau naga
rating,
share dan iklan yang coba diraih dengan jalan memberitakan duka secara tak dewasa.
Hamidah Ibu Kandung Angeline meratapi anaknya yang terbunuh - Adegan dramatis. Ketika hamidah berlutut memukul pintu sambil menangis, meratap adegan ini disiarkan berulang oleh stasiun TV (Dok Arsip Kpi pusat)
Adegan Dramatis Itu lagi, ratapan Ibu kandung Angeline ditampilkan lagi oleh stasiun Tv yang berbeda: Begini wajah jurnalisme Iba di televisi dok: (Arsip KPI Pusat)
Di titik ini, stasiun televisi kita terjebak dalam
empati palsu dan gagal berada di sisi pihak keluarga korban, apalagi publik. Karena jika hanya bicara kebutuhan dan kepentingan publik, publik hanya butuh berita dan informasi serta
media yang mengawal kasusnya, bukan drama dan tangisan yang ditampilkan berulang yang pasti akan menambah perih duka keluarga korban.
**
Jurnalisme iba di televisi kita, di satu sisi tak dapat dipungkiri fenomena ini telah menghidupi industri televisi, khususnya program berita yang sering kali harus bekerja ekstra keras demi memenangkan persaingan dengan sinetron yang digandrungi masyarakat kita. Hingga pada akhirnya berita pun mengadopsi pola yang sama: dramatisasi duka yang pada satu sisi mampu membuat stasiun televisi dan program beritanya tetap ada dan hidup, namun di sisi lain praktik jurnalisme iba adalah potret miskinnya empati layar kaca kita yang menyambung hidup dari benang duka.
Pertanyaannya sampai kapan fenomena ini akan berlangsung? Kapan bencana jurnalisme itu akan terurai?
**
Ada yang perlu ditingkatkan barangkali: empati yang asli. Semoga jurnalisme rasa masih ada di tengah isi layar kaca kita yang kian rimba.
Salam Kreatif!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya