Bagi saya pribadi, penggunaan nama pena seperti dalam 2 capture tersebut menyusahkan pembaca.
Nah pembaca harus sebut mereka apa kalau ada saatnya berinteraksi dan membalas komentar? Untuk sering-sering menyebut dan menuliskan dua nama pena di atas bagi saya tidak mungkin. Karena rasis, nyeleneh dan terkesan merendahkan. Bagaimana mungkin membalas komentar dengan bilang:
"Iya, sepakat denganmu, Dasar Bego! Atau,Â
"Terima kasih, Papua Israel"
Nah itu menyusahkan pembaca. Lagipula Papua kok disamakan dengan Israel, Piye, Jal?
Selain menyusahkan pembaca umum, nama-nama pena seperti capture di atas juga menyusahkan tim Konten Kompasiana, misalnya jika kebetulan ada tulisan dari nama-nama pada capture, yang dianggap layak masuk kurasi konten mingguan di Kompasiana, di mana admin akan menempatkan nama mereka, sementara akun official Kompasiana tidak mungkin memuat nama yang punya unsur rasis dan membodoh-bodohkan orang.
Nah iya kalau masih bisa dilacak nama asli si penulis, masih bisa disingkirkan itu nama pena. Tapi kalau tidak? Itu kan sama saja mengejek orang dan bikin repot. Bikin repot pembaca.
Di titik ini, penulis dengan nama pena yang "antah berantah" sudah mempermalu dirinya sendiri secara sukarela!
Sah-sah saja
Jika seorang penulis memilih menggunakan nama pena, tapi tolong pilih nama pena yang enak didengar, dibaca dan diucap. Pertimbangkan pembaca dan perhatikan bahasa.
Karena huruf dan kata-katamu bisa jadi sayapmu, kelak dia bisa menerbangkanmu atau membuatmu menukik tajam, contohnya sudah terlalu banyak!