Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Riung Raung Gunung Raung

12 Juli 2015   11:16 Diperbarui: 13 Juli 2015   03:44 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

:Pengamat dalam amatannya ::

Aku ragu apakah rindu itu benar benar ada, yang terus bersemayam pada pekatnya abu kegusaran tapi buktinya daun daun kerinduan itu kulihat mengering dan berguguran menyisakan ranting- ranting yang kerontang , masih ingin kutemukan pancuran usang meskipun mengalirkan air- tanpa wangi, sekeruh rasaku, menetes membentuk kubangan resah di celah celah rerumputan yang hangus dan berabu. Andai saja rindu itu nyata, pasti masih tersisa jejak jejak ditepian sunyi, kubiarkan saja apa yang kurasakan mengalir memenuhi sungai -sungai dan menenggelamkan batu batu harapan tempatku berpijak, meskipun ilalang kini mulai tumbuh sesubur keraguanku namun kegetiran tetap saja menyuarakan gemuruh. Apakah alam memendam kemarahannya hingga merampas gemintang di kantong-kantong langit dan menyembunyikannya di kekepekatan mega-mega, hingga tak satupun pepohonan mampu menjawab, bahkan nyiurpun tak lagi mampu melambai, hanya berdiri kaku seolah membuktikan ketabahan dan ketegarannya pada langit dan asap asap yang menari di sekelilingnya. Entah apa nasib anak anak angsa yang setadinya bermain dikubangan tawa Digemericik banyuwangi yang sedianya tenang, sementara angin berlalu begitu saja setelah menghanguskan ladang- ladang, mata pencaharian mereka dan mengantar paksa sejumlah keluarga ke pengungsian.

Apa lagi yang bisa mereka banggakan dan bagaimana juga mereka bisa melangkah dengan telapak kaki yang terkelupas dan penuh abu, semuanya telah terkubur sedalam derita bersama cangkul dan harapan, namun tidak dengan ketabahan mereka, Para korban saksi hidup bencana, Jiwa –jiwa kuat yang tertempa timpaan bencana.

Aku malu menyuarakan pilu aku malu menggugat keperkasaan karena kesejatian insan adalah lemah. Namun kesejatian jiwa itu kuat: bertambah kuat setelah ditempa- Meski oleh bencana.

Kucoba mewakili kegetiran pemukiman lereng Gunug Raung yang meraung mencoba melihat dari dekat dalam perjalanan menuju tengah Jawa. kegetirannya begitu terasa saat ini karena perjuangan benar benar sedang dimulai hidupnya pun dipertaruhkan. Bertahanlah sobat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun