Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Terauma: Pergulatan, Pengalaman dan Pelajaran

28 Juni 2015   15:33 Diperbarui: 28 Juni 2015   15:33 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Terauma itu seperti penjara. Butuh waktu lama-bahkan hingga bertahun-tahun untuk orang bisa bebas darinya. Biasanya terauma yang sudah lama mengendap akan mewujud dalam ketakutan, rasa bersalah, rasa rendah diri, antipati dll. Orang yang pernah mengalami terauma-pun biasanya akan mengalami disintegrasi sosial dan pribadi berupa perasaan sulit menyesuaikan diri, perasaan tidak diterima, rasa takut yang berlebihan dll. Biasanya sebab dari terauma adalah kejadian buruk. Kejadian buruk yang terjadi pada seseorang dimasa lampau misalnya kecelakaan, kekerasan fisik atau seksual, perceraian orang tua, pemaksaan dll. Kejadian buruk yang terlanjur teringat dan mengakar dalam pikiran seseorang akan sulit dihapus oleh orang itu yang pada akhirnya membuat orang berusaha membentengi diri- bahkan dengan cara yang tak lazim supaya kejadian teraumatis yang pernah dia lihat atau pernah menimpanya tidak terulang lagi. Misalnya seorang gadis yang memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya karena gerah melihat orangtuanya yang setiap hari bertengkar. Sang gadis akan berfikir untuk apa menikah kalau hanya berkelahi saja? Kejadian teraumatis itu akan membentuk pikiran sang gadis bahwa yang salah adalah pernikahan: Padahal yang salah sebenarnya adalah prilaku. Bertengkar di depan anak, itu yang salah! Bukan pernikahannya. Nah ini salah satu bahaya-nya terauma: menimbulkan persepsi jelek yang mengakar dalam pikiran bahkan sampai selamanya. Contoh nyata yang lebih dekat terjadi pada saya. Saya memiliki terauma terhadap kerja di dunia perbankan akibat suatu pengalaman buruk saat kerja di bank dan sebuah pemaksaan. Bahkan sampai sekarang-kalau mau jujur perasaan terauma dan rasa bersalah itu masih ada sampai hari ini kalau ingat beberapa praktik ilegal yang pernah dan terpaksa saya lakukan di perbankan.Nah, masalah muncul ketika saya harus melakukan kerja untuk keperluan magang kampus, sedari awal saya sudah bertekad untuk jangan lagi masuk ke dunia perbankan khususnya di bank tempat saya kerja dulu- sebuah tempat yang memupuk terauma. Duh jangan deh, apalagi untuk magang 3 bulan terjebak lagi disitu, pasti saya tak akan tahan.Ya sudah, saya kirimlah berkas lamaran magang kesana-kemari dan Alhamdulillah akhirnya saya mendapat panggilan wawancara dari sebuah lembaga pemantauan media- lolos tes wawancara dan akhirnya diterima magang disana. Singkatnya begitu. Alhamdulillah. Sebuah berkah yang saya ingat dan syukuri bahkan sampai sekarang. Alhamdulillah tidak magang di bank :D Nih contoh bahaya terauma. Aman, bebas, selamat. itu yang saya rasakan saat itu. Tetapi semakin nyaman, semakin percaya semakin lama di suatu tempat, orang akan semakin terbuka itu sudah fitrahnya manusia. Begitupun saya. Ketika atmosfer nyaman mulai ada, mengalirlah cerita tentang pengalaman teraumatis saya di dunia perbankan, apa dan siapa yang memaksa saya terjun ke bank, apa yang saya lihat, apa yang saya tahu, apa yang pernah saya kerjakan, ketakutan saya, pengalaman saya Semua mengalir begitu saja apa adanya.Setelah cerita itu mengalir, seringkali teman-teman sekerja saya harus menjadi 'psikolog' atau 'konselor' dadakan untuk saya. Mereka berusaha sesabar mungkin dan sebisa mereka untuk meyakinkan saya "Hey Syifa, sekarang urusanmu disini, tugasmu membuat arsip data, memantau media dan melakukan penelitian sederhana, tidak ada lagi urusan sama bank manapun." itu yang selalu rekan-rekan sekerja saya coba katakan pada saya saat itu.- Terima kasih untuk orang-orang yang sabar luar biasa :)Saya percaya dan memang pada kenyataannya saat itu saya di sana.- di sebuah lembaga pemantauan media, melakukan magang dan penelitian sederhana tentang televisi, dan yang terpenting.. Sangat jauh dari dunia bank :) Tapi kekacauan tetap ada; terauma tentang pengalaman di perbankan masih terus jadi hantu di siang bolong, terlebih seorang kerabat saya yang memaksa saya masuk bank masih kerap menelpon dan membujuk saya untuk pindah magang ke bank selama bulan-bulan pertama saya melakukan kegiatan magang. "Ayolah Syifa, bantu saya lagi", begitu pintanya. "Tidak ada bantu-bantuan kalau cara dan kerjanya seperti itu", tekad saya pada diri sendiri saat itu. Terdengar idealis, tapi mengutamakan yang benar itu harus diusahakan kan? Tapi kegelisahan tetap ada, bagaimana kalau orang itu datang kemari, mengambil saya dan membuat keributan? Itu yang saya pikirkan. Membaca kegelisahan saya, salah satu rekan kerja saya berkata dan mengajak saya bicara, kira-kira begini isinya:  "Tenang ini kantor, ini lembaga gak akan semudah itu orang bisa cabut atau dicabut dari sini tanpa alasan yang kuat, orang itu gak bisa seenaknya bikin keributan, memaksa atau apapun. Setiap lembaga punya aturan, lagipula kamu sudah terikat persetujuan magang dengan kampus. Ada dosen pembimbingmu,yang sudah ACC kamu magang disini, kamu harus selesaikan tanggung jawabmu penelitian, pengarsipan, pemantauan saat ini disini, kamu Gak ada urusan sama bank manapun."TegasnyaSebuah ketegasan dan penegasan yang menenangkan.Benar. saat itu memang tanggung jawab saya disana, ada dosen pembimbing yang sudah ACC saya magang disana-memantau media. dan saya harus membuat laporan magang pada akhirnya. Jadi kenapa harus takut pada pemaksaan, ancaman dan semacamnya? Itu sudut pandang baru saya. Alhamdulillah kegiatan magang 3 bulan berjalan lancar dan saya mendapat nilai A untuk laporan yang saya buat. Pengalaman saya di perbankan seberapapun teraumatisnya, telah membentuk saya menjadi wanita yang lebih dewasa; pribadi yang lebih mensyukuri hal-hal sekecil apapun• Nah..Sudah cerita panjang lebar..Sebenarnya apa yang ingin saya bagikan disini?Bahwa beberapa pengalaman- sekalipun terlihat sepele, bisa meninggalkan bekas di hati seseorang kalau pengalaman baik yang membekas, besar kemungkinan pengalaman itu akan menjadi komitmen, pegangan dan prinsip hidup: misalnya Prinsip tentang kesederhanaan untuk "Jangan mempersulit orang." Sebuah prinsip yang saya dapatkan dan pelajari berdasarkan pengalaman.Namun jika pengalaman buruk yang membekas, besar kemungkinan pengalaman buruk tersebut akan menjadi terauma. Terauma yang mengakar dan sulit disembuhkan. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Itu prinsip saya. sampai saat ini, saya pun masih terus belajar menyembuhkan sendiri terauma yang pernah saya alami. Saya yakin pasti bisa.Nah yang lebih.berbahaya jika terauma itu terjadi pada anak. Anak kecil sangat rentan terhadap terauma, jika terauma itu terjadi pada anak dan membekas, besar kemungkinan akan mempengaruhi. Kepribadian dan pembentukan karakter sang anak ke depan, anak tersebut bisa saja jadi pemarah, penyedih, penyendiri dan lain sebagainya akibat terauma.Nah untuk para orangtua.. Bagaimana caranya agar anak terhindar dari potensi terauma? Salah satunya adalah jangan dipaksa: kecuali untuk hal-hal dasar, seperti sekolah, mengaji, mandi dll, seiring perkembangan kemampuannya, biarkan anak berkembang sesuai bakat dan minatnya sendiri, jangan paksa anak menjadi replika dari orangtuanya: anak bukanlah cita-cita orang tua yang tak terwujud: setiap anak punya cita-cita dan jalan mereka sendiri: ingat anak anda bukan boneka anda! Tidak ada terauma yang tidak bisa disembuhkan, tetapi akan lebih baik jika kita mencegah penyebab dan potensinya supaya Tak ada luka yang membekas sekian lamanya..  Salam Positif! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun