Mohon tunggu...
Syifa
Syifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Saya merupakan seorang mahasiswa S1 yang sedang menjalani tahun pertamanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya jurusan Ilmu Komunikasi. Saya tertarik dengan bidang Hubungan Masyarakat sejak saya mempelajarinya pada semester pertama. Saya adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi yang senang mempelajari hal-hal baru dan mencari solusi terhadap situasi yang ada. Saya memiliki kemampuan yang kuat untuk beradaptasi dan membangun suasana yang stabil. Saya juga menikmati diri saya ketika saya menjadi konseptor dibandingkan menjadi eksekutor.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Istilah "Tobrut" yang Merajalela, Bukti Krisis Etika Komunikasi di Era Digital

5 Juni 2024   11:01 Diperbarui: 5 Juni 2024   11:12 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LaylaBird from Getty Images Signature

Kita sering kali dihadapkan dengan berbagai kosa kata baru untuk berkomunikasi lewat sosial media sosial di era digital ini. Salah satu kosa kata yang sedang merajalela adalah penggunaan kiasan "tobrut." Istilah ini sering kali digunakan untuk merendahkan atau melecehkan perempuan, mencerminkan krisis etika komunikasi yang sedang kita hadapi di dunia maya.


Istilah yang Menghancurkan
Krisis etika komunikasi ini termanifestasi dalam beberapa aspek. Pertama, penggunaan istilah "tobrut" menunjukkan objektifikasi perempuan dan merendahkan martabat mereka. Perempuan direduksi menjadi objek seksual semata, tanpa memperhatikan nilai dan harga diri mereka sebagai manusia. Penggunaan istilah ini di media sosial sering kali dimaksudkan untuk mempermalukan atau mengkritik fisik biologis perempuan secara tidak pantas. Ini bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga serangan terhadap perempuan secara umum.
Kemudian yang kedua, penggunaan istilah ini menunjukkan budaya misoginis yang masih mengakar kuat di masyarakat. Momen pelecehan seksual online seringkali dijadikan sebagai bentuk candaan atau lelucon, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi korban. Hal ini menunjukkan minimnya empati dan toleransi terhadap kaum perempuan.


Mengapa Ini Terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa etika komunikasi di era digital sedang dalam kondisi yang krisis. Pertama, kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang etika digital. Banyak orang tidak menyadari dampak dari kata-kata mereka di dunia maya. Kebebasan berpendapat bisa menjadi argumen bagi mereka yang menggunakan istilah "tobrut" maupun istilah lainnya yang memiliki makna negatif. Namun, kebebasan ini bukan berarti tanpa batas. Kita harus menggunakannya dengan bertanggung jawab dan mempertimbangkan konsekuensi dari kata-kata kita. Mereka mungkin berpendapat bahwa penggunaan istilah ini hanya untuk candaan dan tidak memiliki niat jahat tanpa memikirkan efek jangka panjang yang akan disebabkan dari komentar yang disampaikan menggunakan istilah-istilah tidak pantas tersebut.
Kedua, platform media sosial sering kali tidak memiliki kebijakan yang efektif untuk menangani pelecehan dan penghinaan. Ketiga, krisis etika komunikasi ini diperparah oleh anonimitas yang ditawarkan platform digital. Para pelaku pelecehan seksual online merasa aman untuk melontarkan kata-kata kasar dan merendahkan karena tersembunyi di balik layar. Hal ini mendorong mereka untuk berperilaku agresif dan tidak bertanggung jawab.


Dampak Negatif pada Perempuan
Pelecehan verbal melalui kiasan seperti "tobrut" memiliki dampak psikologis yang signifikan pada korban. Perempuan yang menjadi sasaran sering kali merasa terintimidasi, dihina, dan kehilangan kepercayaan diri. Dalam jangka panjang, ini dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka dan mengurangi partisipasi mereka di ruang publik digital. Fenomena ini juga memperkuat stereotip negatif dan bias gender yang sudah ada.


Harus Dihentikan Sepenuhnya
Istilah "tobrut" dan kosa kata sejenisnya yang merujuk pada alat kelamin perempuan ini tidak pantas digunakan dalam kondisi apapun. Bukan hanya "jangan sampai salah guna", tapi penggunaan kosa kata ini harus dihentikan sepenuhnya, karena hadirnya istilah ini bahkan bisa mencerminkan kualitas sumber daya manusia di negara kita sendiri.


Bagaimana Cara Menanganinya?
Menangani krisis etika komunikasi ini membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Pertama, edukasi tentang pentingnya etika komunikasi bahkan di era digital harus digencarkan, terutama kepada generasi muda. Penting untuk menanamkan rasa hormat dan penghargaan terhadap sesama, serta pemahaman tentang dampak negatif pelecehan seksual online.
Kedua, platform media sosial perlu memperkuat regulasi dan mekanisme pelaporan untuk mencegah penyebaran konten pelecehan. Algoritma platform perlu dioptimalkan untuk mendeteksi dan menghapus komentar-komentar negatif dengan cepat dan efektif.
Ketiga, perubahan mindset dan perilaku masyarakat juga menjadi kunci utama dalam mengatasi krisis etika komunikasi ini. Kita perlu membangun budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, saling menghormati dan menghargai perbedaan, serta pemahaman tentang jenis-jenis pelecehan seksual dan apa dampaknya. Penggunaan bahasa yang sopan dan beradab harus menjadi kebiasaan dalam interaksi online maupun offline.

Mari bersama-sama membangun era digital yang lebih positif dan inklusif, di mana semua orang dapat berkomunikasi dengan aman, bertanggung jawab, dan penuh hormat. Kita dapat memulai dengan menjauhkan diri dari penggunaan istilah "tobrut" dan sejenisnya, serta mempromosikan budaya komunikasi yang sehat dan bermartabat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun