Masa dewasa awal adalah peralihan dari masa remaja ke masa dewasa yang terjadi dari sekitar usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2015). Berdasarkan penelitian Smith (2017), mahasiswa mengalami peningkatan dalam hal ketakutan terhadap kedewasaan (maturity fears). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua seseorang, belum tentu disertai juga dengan kedewasaan pada usia psikologisnya, dimana hal itu dapat disebabkan oleh adanya inner child.
Inner child merupakan kepribadian atau tingkah laku individu yang terbentuk dari pengalaman di masa anak-anak, dimana pengalaman tersebut sangat melekat dengan jelas pada memori sehingga dapat mempengaruhi perilaku individu tersebut di masa dewasa.Â
Diamond (2008) menyebutkan bahwa inner child adalah suatu himpunan peristiwa baik dan buruk yang terjadi dan dialami oleh anak hingga terbentuk kepribadian sampai dewasa. Pengalaman yang buruk dapat menyebabkan inner child terluka.Â
Di masa dewasa, inner child ini tidak pernah pergi, begitu juga dengan perasaan ketika pengalaman yang membentuk inner child tersebut terbentuk. Ketika seorang anak terus-menerus merasa terancam, luka besar akan terbuka di jiwa mereka sehingga banyak individu dewasa tanpa sadar menekannya (Kneisl, 1991).
Harley (2017) menyebutkan beberapa ciri dari inner child yang terluka, yaitu merasa rendah diri, kurang mampu mengendalikan emosi, sulit membedakan situasi serius dan bercanda, memiliki masalah terkait identitasnya sendiri, memiliki sikap pemberontak, tidak percaya terhadap komitmen, kurangnya rasa percaya diri, memiliki ambisi untuk selalu menang, serta memiliki perilaku yang cenderung obsesif, pasif, atau agresif.
Pembentukan inner child terutama dipengaruhi oleh bagaimana pola pengasuhan individu ketika masih anak-anak. Pengabaian atau adanya kekerasan saat individu masih kecil dapat membuat inner child terluka. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi inner child adalah faktor lingkungan. Pengalaman buruk yang terjadi di lingkungan sekolah misalnya, saat seorang anak dihukum oleh guru maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri.
Anak-anak yang tidak menerima dukungan psikologis, emosional, dan fisik akan tumbuh menjadi individu dewasa yang terluka. Pengabaian fisik seperti makanan, tempat tinggal, dan bentuk pelecehan misalnya pelecehan seksual. Pengabaian fisik dapat berdampak negatif seperti membuat individu jadi memiliki kepribadian rendah diri dan pemalu.Â
Sementara itu, pengabaian emosional seperti berupa pengabaian terhadap kebutuhan anak akan dukungan, rasa hormat, dan cinta atau kasih sayang. Pengabaian ini dapat berdampak negatif terhadap kepribadian individu yang menjadi cenderung memiliki harga diri rendah, sering menekan emosi dan mengabaikan kebutuhan emosionalnya sendiri, menghindari kedekatan emosional dengan orang lain atau sulit mempertahankan hubungan yang sehat, serta cenderung lebih mudah cemas.
Selain itu, pengabaian psikologis yaitu pengasuh anak gagal mendengarkan dan merangkul anak tersebut, sehingga dapat berdampak pada kepribadiannya yang menjadi suka berteriak dan menghina, serta menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap orang lain. Dengan demikian, pengalaman luka yang dialami anak-anak akan tumbuh membentuk kepribadiannya hingga dewasa (Davis, 2020).
Inner child dapat memengaruhi emosi, hubungan, serta tindakan individu dalam lingkungan sosialnya. Pengalaman masa kecil yang baik akan membentuk kepribadian individu dewasa yang lebih baik, begitupun sebaliknya, pengalaman masa kecil yang buruk akan menimbulkan kepribadian individu dewasa yang cenderung buruk pula.
Inner child yang hidup dalam jiwa individu secara langsung dan tidak sadar memengaruhi perilaku ketika dewasa, yang bahkan dapat menghentikan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkannya atau seperti menjauhkan diri dari suatu hubungan yang intim.Â