Teori populisme juga mendapat kritik, khususnya dalam konteks Pilkada DKI 2017. Beberapa pengamat berpendapat bahwa populisme yang berfokus pada identitas dan agama berisiko merusak fondasi demokrasi, dengan mengutamakan emosi daripada rasionalitas dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, narasi populisme sering kali menyederhanakan masalah kompleks menjadi sekadar pertentangan antara "rakyat" dan "elit," yang dapat mengaburkan perdebatan substansial tentang kebijakan.
 Kesimpulan
Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan bagaimana teori populisme dapat diimplementasikan dalam konteks politik Indonesia, terutama melalui isu-isu agama dan identitas yang menonjol dalam kampanye. Populisme di sini dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas, terutama dari kalangan yang merasa terpinggirkan atau tidak terwakili. Meski efektif dalam memenangkan dukungan, pendekatan ini memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap tatanan sosial-politik Indonesia dan memberikan tantangan bagi proses demokrasi yang sehat dan inklusif di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H