Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Dakwah dan Aktivitas Ilmiah: Masihkah Dipertentangkan?

29 November 2017   09:00 Diperbarui: 29 November 2017   09:25 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam empat dekade terakhir ini, aktivitas dakwah dan keagamaan pada umumnya ditandai oleh usaha menggabungkan antara ajaran agama, sains dan pembangunan masyarakat (umat). Kecenderungan ini terjadi hampir di seluruh negeri Islam, termasuk di Indonesia, walaupun belum mencapai seluruh pelosok tanah air.

Di Ibukota sendiri, masih sering terdengar uraian-uraian keagamaan yang tidak sejalan dengan kecenderungan tersebut, bahkan terkadang bertentangan dengan konsep rahmatan li al-alamina serta prinsip Islam yang sangat mendorong terhadap berkembangnya sains, dan ilmu pengetahuan.

Islam adalah agama dakwah. Di antara agama Semit yang lain, agama Islam bahkan mempunyai watak yang sama dengan agama Kristen yaitu, "misionaris-ekspansionis", dalam arti menghendaki pemeluknya supaya mengajak kepada orang lain untuk mengikuti agamanya.
Pandangan tentang Islam sebagai agama dakwah tersebut tentunya memiliki landasan normatif maupun historis. Sekelompok Muslim meyakini bahwa setelah kenabian Muhammad SAW., agama Islamlah satu-satunya agama yang benar; sementara agama-agama lain selain Islam itu tidak benar dan sesat.

Doktrin eksklusivisme ini banyak dikritik oleh non-Muslim maupun oleh (sebagian) kalangan Muslim sendiri, karena dianggap turut menyuburkan sikap intoleran, picik (bigotry), dan fanatisme yang berlebihan. Ini masih dapat diperdebatkan (debatable) tentu saja, namun di balik itu semua, sebenarnya masih ada persoalan yang menjadi masalah utama di internal umat Islam. Apakah itu?

Masalah utamanya adalah ketika umat Islam menganggap bahwa aktivitas dakwah itu tidak sejalan dengan aktivitas ilmiah; menganggap bahwa aktivitas ilmiah itu tidak ada unsur dakwahnya, dan sebaliknya, aktivitas dakwah itu tidak perlu ilmiah. Pandangan semacam ini kadang tumbuh subur di kalangan para dai, di kampus-kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.

Ketika pandangan semacam itu sudah semakin mengemuka bahkan terdengar sangat keras, maka harus segera kita cari solusinya. Mengapa? Selain menggelisahkan juga sangat bertentangan dengan esensi agama itu sendiri, di mana Islam sangat mendorong segala aktivitas keilmuan. Oleh karena itu, perlu segera diluruskan, meskipun tidak mudah.

Di dunia kampus, misalnya, ketika melihat ada mahasiswa yang rajin kuliah, rajin ke perpustakaan membaca dan mencari referensi, menulis jurnal, membuat halaqah diskusi, menulis makalah atau mengerjakan tugas-tugas kampus, justru dipertanyakan kontribusi riilnya dalam "berdakwah".

Karena kesalahpahaman itu, tipe yang seperti itu justru dijadikan sasaran (objek) dakwah yang perlu didakwahi terus menerus. Bahkan tidak hanya mahasiswa, dosen yang sering meneliti, menulis karya ilmiah pun sering mendapat kritikan yang sama karena dianggap tidak memiliki kontribusi dalam dakwah mengembangkan Islam.

Karena pandangan semacam itu sudah meluas di hampir seluruh kampus, maka tidak sedikit di antara mahasiswa dan dosen yang akhirnya terjebak dan ikut-ikutan juga. Kehidupan di kampus pun berubah, pembicaraan di hampir semua tempat, di perpustakaan, kantin, saat kuliah apalagi di masjid, tema yang paling kekinian adalah strategi "dakwah".

Mahasiswa dan dosen yang masih ajeg dengan aktivitas akademiknya, selanjutnya menjadi kelompok paling minoritas, nyaris tidak ditemukan lagi di kampus. Jika fenomena seperti ini dibiarkan, maka bagaimana mungkin tradisi keilmuan akan terbangun, kapan karya-karya besar seperti pada masa-masa kegemilangan Islam dapat terwujud? Kapan umat Islam dapat kembali memimpin peradaban?

Kerja ilmiah disepelekan, dipinggirkan dan diposisikan berseberangan dengan aktivitas dakwah, sementara pada saat yang sama mereka menyerukan agar lahir "sains Islam" sebagai tandingan Barat atau pengetahuan Islam untuk membuktikan bahwa kemajuan Barat bukanlah kemajuan seperti yang dikehendaki Islam. Fenomena semacam ini dapat terjadi karena memang adanya kerancuan berpikir, kesalahan memahami makna dakwah itu sendiri maupun minimnya paham keagamaan secara umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun