Diskriminasi gender khususnya terhadap wanita masih merupakan isu penting dalam kehidupan sosial hingga saat ini. Pola pikir masyarakat baik di Jepang maupun di Indonesia, yang masih banyak menjunjung patriarki merupakan faktor utama diskriminasi gender masih terus berlangsung. Salah satu tempat dimana diskriminasi gender masih marak terjadi adalah di dunia kerja. Terdapat tiga bentuk diskriminasi yang banyak terjadi di tempat kerja, antara lain adalah sekuhara (sexual harassement), pawahara (power harassement), dan matahara (maternity harassement).
Matahara (マタハラ) (maternity harassement) adalah perlakuan tidak adil terhadap wanita di dunia kerja seperti, tekanan dan pelecehan fisik atau mental dari atasan, rekan kerja, tempat kerja atau perusahaan terhadap pekerja wanita yang sedang hamil atau pasca melahirkan dengan melakukan pemecatan, penghentian kontrak secara sepihak, atau memaksa korban berhenti secara sukarela. (Sayaka, 2016: 82) (Yamanaka, 2016).
Adanya kasus matahara ini diakibatkan dari budaya patriarki yang menganggap bahwa lebih baik pria yang bekerja di luar dan wanita harus tinggal di rumah untuk mengurus dan membesarkan anak-anak. Sehingga menyebabkan adanya kasus-kasus pelecehan terhadap pegawai wanita. (Sayaka, 2016:14)
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Jepang pada tahun 2015, satu dari setiap lima (20.9%) wanita pekerja di Jepang telah mengalami matahara.
Menurut survei yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan pada bulan November 2015, sekitar 40% responden mengatakan bahwa matahara berasal dari atasan laki-laki, sementara 20% mengatakan bahwa mereka telah dilecehkan oleh atasan perempuan, dan sisanya hanya menyebutkan rekan kerja (Reuters, 2015). Hasil survei menunjukkan bahwa pelaku matahara tidak tergantung pada status dan jenis kelamin. Bahkan atasan dan karyawan wanita pun bisa menjadi pelaku matahara. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di Jepang masih belum bisa mentolerir kehamilan di tempat kerja. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 71,0% tindakan matahara berupa perkataan yang tidak bersahabat. Diikuti oleh 38,7% dalam bentuk tekanan untuk pemecatan, dan 20,4% adalah masalah pemecatan atau pemutusan kontrak kerja. Berdasarkan hasil survei, dapat disimpulkan bahwa bentuk matahara yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk kata-kata atau komentar yang merendahkan, diikuti oleh tekanan dan rekomendasi untuk mengundurkan diri, dan akhirnya pemecatan atau pengunduran diri.
Matahara tidak hanya terjadi di Jepang. Hal tersebut juga dirasakan oleh para pekerja wanita di Indonesia. Menurut KOMISIONER Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Maria Ulfah Anshor, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja menempati posisi ketiga dari banyaknya jenis kekerasan yang dialami wanita Indonesia. “Dari sisi jumlah atau presentase keseluruhan, kekerasan di tempat kerja menempati urutan terbanyak ketiga”.
Dijelaskan juga bahwa relasi kuasa digunakan oleh pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan yang bekerja. Akibatnya, perempuan yang bekerja dihadapkan pada berbagai bentuk kekerasan. diskusi 'Upaya Wacana Keagamaan untuk Mengikis Kekerasan terhadap Perempuan di Tempat Kerja' di Rumah KitaB, Kamis (24). Hal ini dikarenakan pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki dan merupakan atasan korban. Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja masih menunjukkan grafik yang sama selama tiga tahun terakhir. (data catahu 2021 dan catahu 2022).
Pada tahun 2021 terdapat setidaknya 344 kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja. 114 kasus tercatat langsung dari pengaduan KOMNAS perempuan dan 230 kasus tercatat di penyedia layanan. Jenis kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkup pekerja di Indonesia lebih kearah pelecehan seksual dan pemerkosaan. Akan tetapi terdapat juga pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan para pekerja wanita seperti pemecatan sepihak, tidak adanya kompensasi pemecatan, tidak diberikan cuti hamil, pelanggaran hak maternitas, dan diskriminasi upah berdasarkan gender. Kekerasan dan pelanggaran hak tersebut banyak terjadi di perusahaan swasta, lembaga pemerintah, bank, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dunia hiburan, dan transportasi umum.
Fenomena matahara juga tidak hanya dialami oleh pekerja wanita. Beberapa pekerja pria juga pernah mengalami kejadian matahara. Dalam kasus pria matahara disebut sebagai patahara (パタハ) atau paternity harrasement, yaitu diskriminasi terhadap pekerja pria yang memutuskan mengambil cuti paternal. Pekerja pria yang mengambil cuti didiskriminasi dengan cara dipaksa melakukan tugas-tugas kasar, dan kemudian secara bertahap diturunkan dari jabatan, hingga pembaruan kontrak dengan penurunan gaji yang signifikan, kemudian penghentian gaji, hingga dipecat.
Pelanggaran-pelanggaran hak dan kekerasan seksual sangat berpengaruh pada tekanan psikis para korban. Korban akan merasa tidak aman selama bekerja yang mengakibatkan terhambatnya proses kerja, tekanan psikis, dan penurunan produktivitas kerja korban.
Matahara dapat dikaitkan dengan dua alasan utama yaitu, pertama adalah peran gender tradisional yang membagi stereotype terhadap wanita dan pria (patriarki) yang menghalangi wanita untuk mengambil posisi kerja. Kedua adalah adanya jam kerja yang panjang, secara statistic menyebabkan lebih banyak pelecehan kehamilan dikarenakan beban kerja yang menuntut pikiran dan tubuh seseorang dengan waktu yang lama (Tsuchiya 2015).