Era globalisasi yang menyentuh berbagai aspek kehidupan di seluruh wilayah pemerintahan negara menuntut adanya reformasi dari aspek perekonomian dan pemerintahan.Â
Tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi sebagai perwujudan prinsip otonomi daerah yang sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 mengudara sejalan dengan mencuatnya arus globalisasi.Â
Sejalan dengan hal tersebut, maka untuk merealisasi transformasi dan reformasi, negara Indonesia dituntut untuk membentuk hubungan/mitra yang baik antara pemerintah dengan daerah dan masyarakat di berbagai bidang. Kolaborasi diantara keduanya dikatakan mampu menghadapi berbagai tantangan seperti: daya saing dalam hal perekonomian, pelayanan kepada masyarakat, kebijakan publik, hubungan keuangan daerah dengan pusat, hingga pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang rawan dilakukan oleh pemerintah baik dari tingkat terendah seperti desa hingga pusat yang mirisnya kejadian tersebut tidak dapat terelakkan sampai pemerintahan yang sekarang.
Maka untuk mewujudkan keadaan negara seperti yang dicita-citakan meski dalam kenyataannya masih berupa angan-angan, upaya yang harus dilakukan adalah menerapkan prinsip good governance untuk pengendalian program pembangunan, pelayanan publik, pengelolaan sarana prasarana oleh pemerintah, dan prinsip clean government untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Perjalanan kepemerintahan daerah selama 9 periode telah menghasilkan beberapa sistem pengaturan tentang otonomi daerah dengan sistem yang berbeda-beda, terhitung sampai detik ini pilihan terhadap sistem desentralisasi dianggap sebagai keputusan terbaik yang telah diterapkan untuk negeri ini. Hal ini disebabkan karena Indonesia dengan kondisi wilayah yang luas, tidak mungkin lagi jika seluruh urusan pemerintahan diserahkan kepada pusat. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangga daerah sendiri disebut dengan otonomi daerah. Sehubungan dengan ini ada tiga prinsip pokok desentralisasi (otonomi) yakni:
1. Sharing of power (pembagian kewenangan);
2. Distribution of income (pembagian    pendapatan);
3. Empowering (kemandirian administrasi Pemerintah Daerah).
Jejak pengalaman masa lalu yakni pada masa pemerintahan Orde Baru yang mencanangkan politik sentralisasi menjadi pelajaran penting bagi pemerintahan sekarang dalam hal pengaturan kewenangan pusat dan daerah. Pasalnya, dalam penerapan asas sentralisasi banyak berdampak negatif seperti ketergantungan terhadap pemerintah pusat sangat besar, sehingga daerah tidak memiliki kewenangan apapun untuk 'menghidupkan' potensi dan pendapatannya, pertumbuhan ekonomi daerah menjadi terhambat disebabkan kebijakan ekonomi terpusat yang kurang memerhatikan potensi ekonomi lokal dan lebih berpihak kepada pemilik modal besar seperti pemerataan pembangunan pasar modern dan mengesampingkan pedagang-pedagang kecil sebagai penyalur dana dari tiap daerah. Meski sistem sentralis memiliki dasar hukum UU No. 5 Tahun 1974 yang diamanatkan oleh UUD 1945, namun dalam praktiknya tidak berjalan demikian.
Bertumpu pada kenyataan tersebut, maka dengan diberlakukannya desentralisasi dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah harus direformasikan sesuai dengan tujuan demokrasi. Dalam bidang ekonomi, otonomi daerah yang luas harus ditujukan kepada perubahan pengaturan hubungan antara pusat dengan daerah. Pengaturan tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah harus dapat menjamin agar daerah memperoleh bagian yang lebih proporsional sehingga dapat membiayai kegiatan pembangunan di daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Daerah khususnya Daerah Tingkat II ditekankan dapat mengembangkan kreasinya dalam mencari berbagai pendapatan daerah yang potensial. Contoh Kota Malang, potensi alam dan jumlah penduduk yang mendiami kota ini bisa dijadikan daerah percontohan. Dalam hal pariwisata Kota Malang dan Kota Batu tidak dapat diragukan lagi potensinya, dari sektor pariwisata tersebut dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang jumlahnya cukup tinggi. Pengelolaan Sumber Daya Alam serta tata ruang yang bagus antara pemerintah dengan para masyarakat menghasilkan nilai tersendiri bagi kota ini. Namun dalam hal pengembangan usaha masih belum seimbang, usaha dari swasta lebih dikedepankan daripada usaha milik lokal, dengan maraknya pembangunan traditional market dan juga mall serta pusat perbelanjaan dengan gedung-gedung megah seakan menjamur di Kota Malang, kota yang dulu terkenal dengan kota bunga kini berkonotasi menjadi kota seribu mal atau kota seribu cafe. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum bisa maksimal dalam pemberdayaan masyarakat ekonomi menengah-kebawah, seharusnya yang harus dibina terlebih dahulu adalah pengembangan usaha-usaha kecil, supaya kebutuhan masyarakat dengan kepentingan pemerintahan dapat sinkron. Itu merupakan sebuah contoh kecil dari beberapa contoh otonomi daerah di indonesia.
 Asas desentralisasi harus memperhatikan aspek teknis, sehingga kemampuan daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dapat terealisasi. Dengan perluasan otonomi daerah ini, maka kekuasaaan pusat akan semakin mengecil. Dengan perluasan otonomi daerah kekuasaan pusat atas daerah akan berkurang. Dengan mengurangnya pengendalian pusat kepada daerah, maka daerah tersebut akan memperluas wewenang serta kekuasaan yang menjadikan daerah bisa lebih mandiri.
Komponen para aktor politik yang menjadi komponen utama dalam mewujudkan otonomi seluas-luasnya kepada daerah adalah Kepala Daerah, DPRD, dan Pegawai Pemerintah Daerah. Demokratisasi membuat masyarakat memiliki wewenang penuh dalam memilih dan mengangkat Kepala Daerah dan anggota DPRD, sementara Pemerintah Pusat hanya mengukuhkan dan meresmikannya saja, hanya sebagai rambu-rambu yang mengawasi kinerja daerah, supaya kemandirian daerah dapat tumbuh dan dikembangkan. Untuk menciptakan daerah otonom yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, maka harus ada keseimbangan antara masyarakat dengan pemerintah, harus terjalin kerjasama yang harmonis diantara keduanya, masyarakat menyiapkan SDM dan mengembangkan potensi lokal, sedangkan pemerintah akan menjembatani dan memfasilitasi untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) untuk masyarakat daerah yang dibawahinya.
Dari Otonomi Daerah Menjadi Otonomi Korupsi?
Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pemerintah Indonesia dalam hal korupsi seolah menjadi biangnya, dalam hal otonomi daerah yang seharusnya menjadi jembatan bagi terwujudnya desentralisasi pembangunan justru mendorong potensi terjadinya korupsi di daerah. Kewenangan dan dana dari perimbangan keuangan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepada kepala daerah. Sejauh ini tingkat korupsi paling besar terjadi di tingkat pemerintah pusat, tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan dilakukan juga oleh pemerintah daerah, karena adanya kewenangan otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Daerah menjadi episentrum kasus korupsi.