Mohon tunggu...
Syela Putri
Syela Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - hai

Hallo everyone

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Tahlil Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat Desa Sumurrejo, Gunungpati, Kota Semarang

27 Februari 2022   11:35 Diperbarui: 27 Februari 2022   11:38 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah  kearifan  lokal  atau budaya  lokal termasuk   dalam   konsep   kebudayaan.   Secara etimologis  kearifan  lokal  terdiri  dari  dua  kata, yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal artinya setempat dan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Dengan  demikian, kearifan  lokal dapat  dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan setempat (local) yang  bersifat  bijaksana,  penuh  kearifan, bernilai  baik  yang  tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2010). Menurut  Liliweri  (2014), kearifan  lokal dapat  diartikan  sebagai  pandangan  hidup  yang berkembang  dalam  suatu  komunitas  sosial  dan etnik tertentu yang dibatasi oleh unsur kedaerahan,  geografis, dan  pengalaman  sejarah yang  unik. Oleh  karena  itu,  budaya  lokal  tidak dipandang sebagai dua  entitas yang berhadapan, melainkan sebagai unsur yang membentuk identitas suatu komunitas budaya.

Berdasarkan konsep antropologi, kearifan lokal dikenal sebagai pengetahuan   setempat (indigenous atau local knowledge), juga sebagai kecerdasan setempat (local    genious) yang menjadi  dasar  identitas  kebudayaannya (culture identity) (Rohadi, 1986). Kearifan  lokal  dapat berupa  pengetahuan  lokal,  keterampilan  lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, nilai-nilai ataupun  norma-norma  lokal  dan  adat  istiadat setempat.  Berdasarkan  konsep  tersebut,  maka dapat dipahami bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan  masyarakat  lokal  yang  bijak,  penuh kearifan  dan  bernilai  dan  diikuti  serta  menjadi bagian  dari  kehidupan  masyarakatnya. Dengan demikian,  kearifan  lokal  yang  merupakan cara berpikir  dan  bertindak  dari  masyarakat secara lokal dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan tercermin dalam   kebiasaan   hidup   sehari-hari yang  telah  berlangsung  lama  dalam  kehidupan masyarakat.  Nilai  dalam  konteks  kearifan  lokal merupakan  pedoman  atau  standar  berperilaku dan  tidak  dapat  dipisahkan  dalamsetiap  bentuk kegiatan  dan  perilaku  manusia  dari  generasi  ke generasi.

Sementara  itu, dalam perspektif filsafat sosial, kearifan  lokal  dapat  dipahami  sebagai aktivitas manusia secara fisik-material, kondisi moral,  mental, dan spiritual. Hal    tersebut dimulai dari proses usaha penertiban diri sebagai pribadi dan kesadaran    kebersamaan dalam kelompok masyarakat sehingga membudaya dalam  totalitas  kehidupan. Kearifan  lokal pada tingkat  individual muncul  sebagai  hasil  proses kerja kognitif individu dalam upaya menetapkan pilihan pada nilai-nilai  yang  dianggap  paling tepat  bagi  individu  tersebut. Tataran  kelompok memandang kearifan lokal sebagai upaya menemukan  nilai-nilai  bersama  sebagai  akibat dari pola-pola hubungan (setting) yang telah tersusun  dalam  sebuah  lingkungan  yang  sama. Hal  ini  sejalan  dengan  salah  satu  karekteristik utama dari    kebudayaan, yaitu kebudayaan merupakan milik bersama dan diperoleh melalui belajar dan tidak diturunkan secara biologis atau genetis (Uhi, 2016).

Sedangkan tradisi  tahlilan  merupakan  aktivitas  keagamaan  dan  juga  suatu  bentuk budaya agama yang sampai saat ini terus dilakukan oleh warga nahdliyin yang tidak hanya mengandung nilai-nilai budaya, namun mengandung nilai-nilai dakwah.  Pada  kacamata  dakwah  Islam,  Menurut  Khoeriyah,  kebudayaan manusia  dapat  dikatakan  memiliki  nilai  dakwah  jika  kebudayaan  tersebut menjadi  media  penanaman  nilai-nilai  agama  dan  sebagai  aktualisasi  untuk manusia tunduk dan beribadah kepada Allah(Khoriyah, 2011: 15). Sebagai praktek  keagamaan  dan  realitas  budaya  lokal  tahlil memiliki  relasi  dengan dakwah sebagai diseminasi nilai agama, sosialisasi nilai agama dan aktualisasi nilai agama.

Diseminasi  secara  umum  dapat  didefinisikan  berupa  suatu  proses yang   ditujukan   kepada   individu   maupun   kelompok   agar   masyarakat memperoleh  informasi  dan  mereka  dapat  menerima  informasi  tersebut sehingga timbul kesadaran. Istilah umumnya yang sering digunakan sebagai sinomin adalah "penyebaran"(Wilson,dkk,2010: 89). Atas dasar pengertian tersebut dalam kaitannya dengan dakwah diseminasi dapat diartikan sebagai penyebar luasan nilai-nilai agama Islam pada masyarakat. Proses   diseminasi   adalah   penyebaran   informasi   yang   cukup sederhana   karena   hanya   mengkomunikasikan   suatu   pesan   kepada masyarakat. Adapun tujuan diseminasi itu sendiri adalah masyarakat dapat memanfaatkan pengetahuan yang mereka dapat karena adanya penyebaran informasi (Farkas,  2015:48).  Pengetahuan  atau  informasi  begitu  indentik dengan  pemanfaatan  informasi  tersebut.  Maka  tujuan  akhir  dari  proses diseminasi  ini  adalah  masyarakat  bukan  hanya  menerima  suatu  informasi tapi mereka dapat memanfaatkan informasi yang mereka dapatkan.

Berdasarkan hasil observasi terbatas dari penulis, ditemukan bahwa masyarakat Desa   Sumurrejo   merupakan   masyarakat   dengan perkampungan Islam yang memiliki tradisi seperti dakwah, ngaji kitab, yasin tahlil, dan waqi'ah. Kegiatan masyarakat tersebut biasanya dilakukan mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan yang sudah sepuh, sehingga dari kegiatan tersebut memiliki hubungan yang terjalin dalam rangka menjaga relasi yang harmonis antar manusia.

Melalui kearifan lokal, dakwah penyebaran Islam di Indonesia telah menunjukan   akomodasi   yang   kuat   terhadap   tradisi   lokal   masyarakat setempat,  sehingga  tradisi tersebut  dapat  dijadikan  sebagai  media  untuk melakukan  dakwah  Islam.  Dakwah  senantiasa  berkembang  sesuai  dengan ritme  perkembangan  zaman  dan  kebudayaan  yang  menyertainya.  Hal tersebut  karena  dakwah  bukan  hanya  memiliki  peran  di  kancah  global, melainkan  harus  tetap  berpijak  kepada  kepentingan-kepentingan  lokal. Kedua  gerakan  dakwah  ini  harus  berjalan  sinergis  dan  kohesif  untuk menghasilkan dakwah yang efektif dan efisien (Sarbini, 2011: 292).

Melalui  adanya  proses  akulturasi  antara  budaya  dan  agama  inilah dapat   melahirkan   ragam   mozaik   tradisi   keagamaan   (tahlilan). Dalam perspektif ini tradisi keagamaan merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat muslim, karena fungsi agama telah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun