Mohon tunggu...
Syekh Muchammad Arif
Syekh Muchammad Arif Mohon Tunggu... Konsultan - Menawarkan Wacana dan Gagasan Segar sertaUniversal

syekh muhammad arif adalah motivator dan bergerak di bidang konsultasi pendidikan dan pemerhati sosial dan keagamaan universal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Social Distancing, Isolasi dan Karantina Ala Sufi

22 Maret 2020   18:40 Diperbarui: 22 Maret 2020   21:57 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.vetogate.com

Kata tasawuf adalah bentuk mashdar dari bab tafa’ul yang berasal dari ism yang bermaknaصوف)shuf( berpakaian dan memakai pakaian wol; sebagaimana kata تقمص"" (taqammasha) yang berasal dari kata  قميص (qamĭsh) yang bermakna kemeja dan menggunakan kemeja. Tasawuf dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan sebagai ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Salah seorang ‘ârif besar Ma’ruf Kurkhi (wafat tahun 201 hijriah) dalam mendefinisikan tasawuf memiliki sebuah penjelasan yang indah, beliau mengatakan, “Tasawuf adalah mengambil dan menemukan hakikat-hakikat keberadaan dan putus asa dari apa yang ada di tangan manusia.”

 

Ajaran tasawuf dalam perkembangannya banyak mendapat tantangan, rintangan dan bahkan pengkafiran. Tasawuf dianggap menyimpang, khurafat, sesat dan bid’ah serta bukan dari ajaran Islam. Pelajaran-pelajaran tauhid yang disampaikan ‘urafa (ahli makrifat) justru dianggap pelecehan dan penghinaan terhadap Allah Swt dan “berbau” syirik. Wirid-wirid dan ibadah-ibadah kaum sufi dipandang tidak mempunyai dalil syar’i. Tokoh sufi kesohor sekelas Ibn ‘Arabi, pencetus gagasan wahdah al-wujud (kesatuan wujud) dicap sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) dan mulhid (tidak bertauhid alias kafir). Nyayian dan tarian sufistik serta penggunaan alat musik yang biasa mereka mainkan dilihat sebagai hal yang tidak berdasar dan merupakan bentuk bid’ah.

 

 Ya, tasawuf diposisikan sebagai lawan syariat dan kaum sufi dinilai sebagai kaum yang “nyeleneh” dan memiliki paham yang ngawur, sehigga pada gilirannya pemahaman sufistik semakin terpinggirkan. Ajaran tasawuf dianggap musuh Alquran dan Sunnah.

 

Melihat fakta dan fenomena menyebarnya virus di pelbagai penjuru dunia, hari ini para penentang tasawuf harus gigit jari. Mengapa? Dunia mau tidak mau; sadar tidak sadar; tahu tidak tahu sedang menerapkan ajaran-ajaran yang identik dengan tasawuf dan kaum sufi. Kok bisa? Mari kita buktikan!

 

Istilah yang lagi “hit” dan “ngetren” adalah social distancing (jaga jarak sosial) atau physical distancing (menjaga jarak secara fisik). Kaum sufi sudah lama menerapkan konsep ini. Betapa tidak, ‘urafa memandang bahwa ada empat hal yang dikategorikan sebagai perampok jalan menuju Allah Swt: katsrah kalam (banyak bicara yang tidak perlu), katsrah tha’am (banyak makan), katsrah manam (banyak tidur), katsrah mulazamah anam (banyak kumpul sama masyarakat).

 

Kata lain yang juga trending akhir-akhir ini adalah isolasi. Isolasi berarti pemisahan suatu hal dari hal lain atau usaha untuk memencilkan manusia dari manusia lain; pengasingan; pemencilan; pengucilan. Menurut hemat penulis, isolasi ini identik dengan khalwat.Kaum sufi telah lama menawarkan dan menerapkan konsep khalwat.  Dalam kamus besar bahasa Indonesia khalwat bermakna pengasingan diri (untuk menenangkan pikiran, mencari ketenangan batin dan sebagainya).Hanya saja, manusia modern saat ini terpaksa melakukan isolasi(khalwat ijbariyyah), sedangkan sufi menjalankan isolasi/khalwat secara suka rela dan sadar (khalwat ikhtiyariyyah).

 

Rasulullah saw mempraktikkan khalwat selama 40 hari di Gua Hira dan hasil dari isolasi secara sukarela ini adalah lahirnya buah hati surgawi, Fatimah az Zahra. Siti Maryam pun melakukan khalwat di Baitul Maqdis dan buahnya adalah kelahiran Isa sebagai tanda kebesaran Allah Swt bagi alam semesta.Nabi Ibrahim pun melakukan khalwat dan berkahnya adalah Allah menganugerahinya Ishaq dan Ya’kub (surat Maryam: 49).

 

Satu lagi kata yang viral saat ini adalah karantina. Karantina adalah tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan/ pengaruh penyakit dan sebagainya. Lagi-lagi ‘urafa dan kaum sufi telah lama melakukan karantina secara suka rela. Maulana Jalaluddin Rumi dalam masterpiece-nya, Mastnawi mengajarkan habs ikhtiyari (karantina secara suka rela). Rumi dalam bait syairnya menulis:

 

 

Saya harus tinggal—karena maslahat—di karantina dunia

 

Dari mana karantina ini dan saya dari mana? Harta siapa yang saya curi?

 

Saya bak burung pipit di taman yang dengan sadar memilih untuk masuk dalam perangkat pemburu dan sangkar

 

Sebab, berada di sangkar bersama Kekasih itu jauh lebih menyenangkan daripada tinggal di kebon dan taman sekalipun

 

Aku merasa tenang (berada di karantina) karena aku belajar dari Nabi Yusuf yang tetap rida (terhadap Gusti Allah) meskipun harus masuk dalam sumur (yang gelap dan sempit).

 

Penafsiran bait-bait yang sangat kental bernafaskan sufistik tersebut seperti ini: secara zahir saya berada di karantina dunia, namun pada hakikatnya saya adalah insan yang bebas dari jerat dunia. Saya tidak datang untuk membangun rumah/ gedung dan berdagang. Saya punya maslahat dan tujuan di balik karantina dunia ini. Saya (nabi dan wali) datang untuk membangunkan orang-orang yang “tertidur” dan lalai, yaitu mereka yang hanya berurusan dengan dunia.

 

Saya bak burung yang dengan sadar dan tanpa paksaan hadir dan tinggal di sangkar dunia ini. Saya bukan tidak melihat perangkap sehingga saya terperangkap atau tertarik pada biji-bijian (makanan). Mengapa? Saya melihat bahwa ada orang-orang yang berada di sumur dunia ini. Mereka mendatangkan Yusuf dan memasukkannya dalam penjara (karantina). Saya dengan sadar masuk dalam sumur (karantina) ini supaya mereka (orang-orang seperti Nabi Yusuf) tidak merasa sendirian.

 

 

Dunia yang kita tinggal adalah sumur (karantina). Tapi banyak orang yang tertipu dan sedikit yang paham bahwa hakikatnya bukan ini.Mayoritas orang sibuk berkelahi dan berjibaku dengan dunia: ke pasar, ke kantor, ke sekolah, ke sawah dan sebagainya.Mereka tenang dan senang dengan kesibukan duniawi tersebut.Senang dan sedihnya mereka hanya terbatas pada urusan duniawi.Hanya sedikit orang yang paham dan membaca bahwa hakikat dunia bukan ini; ada sesuatu yang lain.Mereka tak ubahnya bagaikan Yusuf yang berada dalam karantina (sumur).Mereka berhasil membebaskan dari sumur yang sempit dan gelap,sehingga mereka sampai pada alam nur (cahaya dan pencerahan).Banyak kaum sufi yang ketika sampai pada maqam nur (level cahaya), mereka tidak ingin kembali lagi ke dunia.Waliyullah Dehlawi, sufi India mengatakan: Andaikan aku yang pergi mi’raj,niscaya aku tidak akan pernah kembali.Ya, adakah kenikmatan yang melebihi khalwat dan berduaan (asyik masyuk) dengan Sang Kekasih? Tapi Nabi saw--saat mi'raj--berkorban dan memilih untuk kembali dan membimbing umatnya.

(Syekh Muhammad, Founder Chanel Manazila TV di Youtube)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun