Mohon tunggu...
Syeh Saifuddin
Syeh Saifuddin Mohon Tunggu... -

Freelance

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PENINGKATAN KINERJA MELALUI JAMINAN KESEJAHTERAAN DAN KEBIJAKAN PENSIUN DINI

10 Desember 2014   21:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, dunia sedang menghadapi berbagai tantangan global mulai dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, Masyarakat Ekonomi ASEAN yang semakin dekat, pertumbuhan penduduk, keterbatasan sumber daya alam, kemiskinan dan permasalahan-permasalahan lainnya. Tantangan global ini semakin sulit dihadapi karena umumnya terjadi dan dipengaruhi oleh situasi yang unpredictable seperti bencana alam, perubahan iklim/cuaca, penyebaran penyakit, terorisme, dan sebagainya. Hal ini memaksa Negara-negara dunia tidak terkecuali Indonesia untuk berbenah jika tidak mau tergerus arus atau kalah dalam persaingan. Segala daya dan upaya harus disiapkan, termasuk menyiapkan sistem tata kelola dan sumber daya manusia yang dinamis, yang mampu bekerja cepat, resposif, dan adaptif dalam berbagai perubahan baik yang predictable maupun unpredictable.

Berbagai literatur membuktikan bahwa sistem pemerintahan Indonesia yang diterapkan selama ini masih meninggalkan berbagai persoalan, sistem yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial (miftah thoha,2003), dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan penguasa bukan kepentingan warga negara. Sistem administrasi yang lamban, tidak efektif, berbelit-belit, cenderung KKN, dan hanya mengutamakan kepentingan penguasa, merupakan komplikasi deretan permasalahan yang wajib diselesaikan oleh pemerintah.

Mulai dari perekrutan pegawai, pengembangan karier (promosi/mutasi/demosi), penggajian, penghargaan, sampai dengan pemberhentian/pensiun tidak didasarkan pada kompetensi dan kinerja, melainkan lebih pada kedekatan atau ada hubungan kekerabatan dengan penguasa. Jamak dalam berbagai diskusi seorang PNS sangat sulit diberhentikan karena alasan tidak tercapainya kinerja (eko prasojo, 2013). Walaupun keberadaan dan ketidak-beradaanya sama saja, pemerintah harus tetap membayar kompensasi dan pensiunnya ketika mencapai BUP. Selain karena penerapan punishment yang tidak konsisten, juga disebabkan tidak adanya standar yang jelas dan kongkrit mengenai ukuran kinerja, tidak ada kontrak kinerja yang terukur yang membuat sulitnya menentukan seorang pegawai telah mencapai kinerjanya atau tidak, sehingga lagi-lagi nasip kariernya ditentukan oleh hubungannya dengan penguasa.

Sistem kompensasi yang diterapkan mungkin merupakan sistem yang paling kompleks di dunia sebab menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi dan terendah yang terlalu tipis.Jenis tunjangan pegawai sangat banyak, tetapi belum memperhatikan tugas, wewenang, beban kerja, tanggungjawab,dan resiko pekerjaan, serta prinsip-prinsip keadilan. Bahkan, total tunjangan yang diberikan lebih besar dari gaji yang diterima PNS. Banyaknya tunjangan dan jenis-jenis tunjangan yang beragam ini pada akhirnya menyulitkan pengukuran berapa besarnya take home pay seorang PNS. Jika ditambahkan dengan persoalan “pekerjaan proyek” (penghasilan tambahan), maka besarnya tunjangan yang diterima PNS semakin sulit diukur dan semakin tidak transparan. Sumber-sumber pembiayaan gajipun sangat beragam,sehingga membuat income seseorang dalam jabatan negara tidak transparan (Hainudy Ilham, 2010).Sejauh penerimaan dari berbagai jenis penghasilan tambahan hanya dalam jumlah remunerasi yang sebanding dengan rekan-rekan mereka di sektor swasta, hal ini biasanya tidak dianggap sebagai perilaku korup. Hal ini cukup disebut sebagai “economic self-defence”, mengingat kegagalan pemerintah untuk memenuhi kewajiban untuk menggaji karyawan mereka dengan gaji yang adil dan wajar sepadan dengan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 43/1999. Jika anggaran operasional instansi pemerintah tidak memadai cukup untuk memberikan gaji yang adil dan wajar, salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah melalui korupsi. Korupsi yang dilakukan karena motif kebutuhan (corruption by need),(sihol situngkir, 2013)  maka dalam kondisi ini etika profesi yang seharusnya dihormati tidak lagi dapat dilaksanakan jika dari profesi yang dijalani, seseorang tidak memperoleh penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidup minimalnya saat bekerja dan purna baktinya.

Persoalan penerapan sistem kompensasi yang keliru ini juga berimplikasi pada persoalan keuangan seorang pegawai ketika memasuki masa pension, karena setiap orang tidak hanya memikirkan kesejahteraan di saat bekerja, namun juga memikirkan kesejahteraan di masa tua. Pada dasarnya memasuki usia pensiun adalah suatu proses berakhirnya masa kerja dan mulainya untuk memasuki masa beristirahat, karena masa kerja secara aktif telah berakhir. Namun masa pensiun tersebut, kadang merupakan masa yang cukup memprihatinkan. Dampak psikologis yang sering muncul oleh PNS pada masa pensiun seperti adanya gangguan psikologis dan ketidaksehatan dalam bentuk kecemasan, stres, bahkan mungkin depresi. Biasanya juga diikuti oleh adanya perubahan, dan kemunduran fisik seperti munculnya berbagai gangguan penyakit, hipertensi, diabetes, jantung dan lain-lain sebagai.(Muh Kadarisman, 2011) Hal ini diakibatkan oleh perubahan pola hidup dan menurunnya pendapatan/income, sementara gaji pokok mereka selama ini tidak cukup untuk menabung. Situasi ini memaksa PNS yang tidak ingin bernasip sama untuk mempersiapkan diri baik dengan cara mengambil pekerjaan atau bisnis sampingan, menempuh second career, dan bentuk usaha lainnya untuk menjamin kesejahtraannya pada masa purna bakti.

Fenomena ini berbeda dengan pegawai yang bekerja di sektor swasta, dimana setelah memasuki pensiun mereka siap menghabiskan sisa hidupnya dengan menikmati hasil jerih payahnya ketika bekerja di masa muda. Atau dengan uang pensiun yang cukup besar (fully funded), mereka bisa melakukan investasi yang potensi incomenya tidak kalah besar dengan penghasilannya ketika masih bekerja.

Berbagai persoalan ini menunjukan masih ada permasalahan mendasar dalam sistem pemberhentian dan/atau pensiun pegawai sektor publik. Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai upaya baik dengan memperbaiki sistem pensiun melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) maupun dengan memperbaiki sistem menejemen pegawai berbasis merit melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Simple Salary berbasis Merit

UU ASN menyebutkan bahwa Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Sistem merit merujuk pada prinsip bahwa seseorang yang bekerja dalam dinas, penempatannya, promosinya, dan bahkan pemberhentiannya dilakukan atas dasar standar serta ujian objektif terhadap prestasi maupun kemampuannya.(Bintoro, 1995) Merit berperan sebagai value atau prinsip yang berkonotasi fairness/kejujuran, keadilan dan penghargaan dalam jabatan publik (public employment) berdasarkan prestasi bukan atas dasar prinsip politik atau diskriminasi ataupun tindakan favoritisme lainnya. Sistem merit menekankan adanya kompetensi terhadap pekerjaan dan menolak patronage terkait dengan koneksi politik dan loyalitas. Sistem ini menawarkan kontinuitas dan stabilitas dalam kepegawaian sedangkan patronase memungkinkan eksekutif memilih bawahan yang loyal. Sistem merit sebagai suatu proses yang teratur dan fair dalam mempekerjakan, membayar, mengembangkan, mempromosikan dan mendisiplinkan, serta pensiun atas dasar kemampuan dan kinerja.(Woodard,2000)

Dengan menerapkan sistem merit yang terintegrasi dalam seluruh tahapan manajemen SDM, UU ASN meletakkan beberapa perubahan dasar. Perubahan dari pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan administratif kepegawaian kepada human resource management yang menganggap aparatur negara adalah SDM dan sebagai aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan baik.(Eko, 2013) Untuk menjadikan ASN sebagai profesi yang dihormati, dijunjung tinggi, dan dihargai sebagai aset negara, UU ASN menempatkan ASN sebagai sebuah profesi yang  memiliki standar pelayanan profesi, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku profesi, pendidikan dan pengembangan profesi, serta memiliki organisasi profesi yang dapat menjaga nilai-nilai dasar profesi.

Agar standar pelayanan, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka harus ada jaminan kesejahteraan. Karena pegawai ASN baru akan mampu menjalankan profesinya dengan baik jika kebutuhan dasar disaat bekerja dan dimasa pensiunnya terpenuhi. Pemenuhan kesejahteraan ini dapat dikatakan sangat mendasar, karena jika tidak orientasi pegawai dalam bekerja bukan bagaimana cara memaksimalkan capaian kerjanya, melainkan masih berkutat tentang bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagaimana amanat konstitusi bahwa salah satu tujuan didirikan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, dan menjamin  hak setiap orang untuk hidup sejahteran lahir dan batin. (Alinea ke4 pembukaan & Pasal 28 H UUDNRI 1945), maka UU 43/1999 mengamatkan bahwa Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adildan layaksesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Dan gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

Namun dalam implementasinya, ketentuan ini bagaikan macan diatas kertas. Sistem penggajian yang diterapkan justru tidak memenuhi prinsip keadilan, tidak terkait dengan kinerja, dan tidak akuntabel. Sistem remunerasi yang diterapkan juga dirasakan tidak memacu kinerja dan produktivitas mereka, hal ini terjadi setidak-tidaknya karena :


  • Jumlahnya tidak memenuhi kebutuhan hidup layak dan kondisi seperti ini diduga sebagai pendorong terjadinya korupsi,
  • Struktur gaji dan cara penetapan gaji yang tidak dikaitkan dengan bobot jabatan masing-masing pegawai, kompetensi dan prestasi mereka,
  • Besaran gaji, khususnya untuk jabatan-jabatan manajerial dan profesional yang jauh dibawah sektor swata dan ratio terendah dan tertinggi terlalu kecil (1:3),
  • Sistem pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan pegawai setelah memasuki masa pensiun.

Oleh karena itu, sistem penggajian ini tidak lagi relevan untuk diterapkan. Untuk menjamin kesejahteraan pegawai, UU ASN yang menggantikan UU 43/1999 melakukan perubahan mendasar dalam sistem penggajian PNS, antara lain:

·Menambah variable ukuran gaji yang adil dan layak tidak hanya mencakup beban pekerjaan dan tanggungjawab, melainkan juga resiko pekerjaan. Untuk memenuhi prinsip keadilan, maka pekerjaan yang beresiko lebih tinggi harus mendapat gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang resikonya lebih rendah.

Mengubah sistem penggajian dari complex salary kepada simple salary. Dari paradigma lama gaji pokok kecil dengan variable tunjangan dan insentive beragam namun tidak akuntabel dan tidak terkait dengan kinerja, menuju paradigma baru dengan gaji pokok yang adil dan layak sebagai komponen fix, dan tunjangan kinerja dan tunjangan kemalahan sebagai komponen variable. Dengan simple salary ini, sistem penggajian akan lebih akuntable dan mendorong kinerja pegawai.

Untuk menjamin kesejahteraan ASN dalam masa purna bakti, UU ASN juga mengatur hak ASN untuk memperoleh jaminan sosial baik pensiun dan jaminan hari tua (Disadur dari tulisan Laode Rudita, Freelance Konsultan dan Pengajar di Program Doctor Pasca Sarjana Universitas Borobudur Jakarta).

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun