Mohon tunggu...
Syeh Saifuddin
Syeh Saifuddin Mohon Tunggu... -

Freelance

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Pensiun Dini sebagai punishment

10 Desember 2014   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya pemberhentian seorang PNS dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Salah satu perbedaan diantara keduanya yaitu menyangkut hak keuangan seseorang yang diberhentikan. Jika PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat, maka ia memperoleh hak-hak keuangan seperti hak pensiun, jaminan hari tua, dan/atau uang tunggu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan jika PNS diberhentikan tidak dengan hormat, maka ia tidak berhak menerima pensiun.

Pasal 23 UU 43/1999 mengatur bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia, dan dapat diberhentikan dengan hormat karena:

a.atas permintaan sendiri;

b.mencapai batas usia pensiun;

c.perampingan organisasi; atau

d.tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.

Pasal 87 UU ASN kemudian menambahkan ketentuan baru dalam huruf (d) tersebut yaitu menjadi: “d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini”, Dengan ketentuan ini maka seorang PNS dapat diberhentikan dengan hormat karena semata-mata adanya kebijakan pemerintah yang menimbulkan atau mengakibatkan PNS tersebut pensiun dini.

Ketentuan pemberhentian PNS dengan hormat karena perampingan organisasi sebagaimana huruf d tersebut, bukan lah hal baru diatur dalam UU 43/1999, walau dalam praktek hal ini jarang dilakukan. Dalam PP No. 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan PP No. 1 tahun 1994 dan PP No. 44 tahun 2011, dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Apabila ada penyederhaan suatu satuan organisasi Negara yang mengakibatkan adanya kelebihan PNS, maka PNS yang kelebihan itu disalurkan kepada satuan organisasi lainnya. Kemudian Pasal 7 melanjutkan bahwa apabila penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak mungkin dilaksanakan, maka PNS yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat sebagai PNS atau dari Jabatan Negeri dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini lebih menitik beratkan kepada pendistribusian pegawai, sebagaimana yang pernah terjadi dalam pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dimana Presiden ketika itu menghapus/membubarkan 2 (dua) departemen yaitu Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Departemen Sosial. Pembubaran ini berdampak pada kepegawaian, sehingga seluruh pegawai yang berada didepartemen/kementerian tersebut disalurkan ke K/L/Pemda lainnya.

Pendistribusian pegawai akibat perampingan organisasi dapat dilihat sebagai konsekuensi adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi, sehingga relatif tidak terkait langsung dengan kinerja. Terlepas apakah pemerintah masih membutuhkan pegawai-pegawai yang instansinya mengalami perampingan tersebut, namun pemberhentian tidak tepat diberikan sebelum adanya upaya untuk menyalurkannya ke instansi lain. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perampingan organisasi terjadi bukan karena adanya punishment terhadap individu tetapi lebih dilakukan dalam rangka efisiensi pemerintah. Sangat mungkin pegawai yang bersangkutan memiliki kinerja tinggi, namun karena berada dalam wrong time & wrong place, yang bersangkutan harus ikut menerima akibat buruk dari perampingan organisasi. Maka tidak tepat rasanya jika yang bersangkutan dipensiun dinikan.

Namun yang menjadi pertanyaan dan masalah selanjutnya adalah bagaimana dengan PNS yang tidak mampu mencapai target kinerja dan setelah diberikan kesempatan namun tetap tidak mampu meningkatkan kompetensi dan kinerjanya? atau bagaimana dengan PNS yang ketidakberadaannya lebih baik dari pada keberadaannya?

Tentu setiap PNS mempunyai hak untuk mengembangkan kompetensinya, baik melalui pendidikan, pelatihan, seminar, kursus penataran, pertukaran praktik kerja di instansi pusat dan daerah, dan bentuk pengembangan kompetensi lainnya. Bahkan sebagaimana Korea Selatan (Korean SPO Act, 2012), UU ASN memungkinkan pengembangan kompetensi pegawai melalui pertukaran PNS dengan pegawai swasta dalam waktu 1 (satu) tahun dan pelaksanaanya dikordinasikan oleh LAN dan BKN (Pasal 70 ayat (6)).

Walaupun pengembangan kompetensi ini menjadi kewajiban Instansi Pemerintah untuk menyusunnya dalam rencana pengembangan kompetensi dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing-masing, namun dalam implementasi amat tergantung pada minat, kemauan, dan kemampuan PNS yang bersangkutan. Disisi lain, biasanya diklat diikuti hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi kenaikan pangkat dan jabatan, bukan untuk meningkatkan kompetensi sehingga menyebabkan berbagai proglam diklat yang diikuti tidak berbanding lurus dengan capaian atau prestasi kerja pegawai.

Permasalahan ini menunjukan bahwa hak untuk meningkatkan kompetensi PNS tidak cukup. Diperlukan instrument lain yang dapat mendorong pegawai untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Salah satu insturument tersebut adalah reward and punishment. Bentuk reward pertama yaitu dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan PNS dengan sistem penggajian yang terkait kinerja. Dengan sistem ini, besar kecilnya take home pay PNS ditentukan oleh kinerjanya secara individu dan kinerja instansi dimana PNS tersebut bekerja. Melalui kebijakan ini, maka istilah PGPS dalam lingkungan birokrasi akan menghilang dengan sendirinya, karena semakin tinggi kinerja seorang PNS, maka semakin tinggi pula penghasilannya, dan begitu pula sebaliknya.

Bentuk reward yang kedua, UU ASN mengatur bahwa, PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan. Penghargaan tersebut dapat berupa pemberian:

a. tanda kehormatan;

b. kenaikan pangkat istimewa;

c. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau

d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.

Melalui reward dalam bentuk pertama dan kedua tersebut, secara tidak langsung mempengaruhi persentase pension, dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan jumlah pensiun yang akan dinikmati PNS berprestasi tersebut ketika masa purna bakti.

Berbagai reward ini diberikan sebagai timbal balik dari prestasi kerja yang bersangkutan, selain itu juga dimaksudkan untuk memacu PNS yang lain untuk meningkatkan kinerjanya. Namun, bagi PNS yang tidak mampu meningkatkan kinerjanya, tidak mampu memenuhi target kerja sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian kinerja, maka kepada yang bersangkutan dikenakan punishment. Bentuk punishmentyang paling relevan yaitu dengan penurunan sampai dengan penghapusan tunjangan kinerja. Dalam praktek penggajian instansi pemerintah selama ini, belum pernah sekalipun terjadi penurunan besaran tunkangan kinerja, yang ada selama ini hanya kenaikan tunjangan kinerja. Hal ini terjadi karena pemerintah belum pernah melakukan evaluasi terhadap pemberian tunjangan kinerja instansi. Apakah tunjangan kinerja yang diberikan sudah sepadan dengan kinerja pegawai dan kinerja unit kinerjanya. Apakah pemberian insentif berupa kenaikan tunjangan kinerja relevan dengan peningkatan kinerja individu yang bersangkutan? Walaupun beberapa publikasi nasional dan internasional menunjukan efektifitas pemerintah masih belum membaik, Sebagaimana yang ditunjukan oleh Indonesia Governance Index  (IGI) 2014 bahwa kinerja tatakelola pemerintah secara nasional dari skala 10 hanya mencapai 5,70 dengan efektifitas birokrasi hanya mencapai 5,7 (Kemitraan 2014). Begitu juga publikasi Worldwide Governance Indicator oleh World Bank 2013, yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012kinerja pemerintahan Indonesia cenderung tidak membaik. Bahkan berdasarkan indikator efektivitas pemerintahan (government effectiveness),menempatkan Indonesia bersama Vietnam pada posisi terendah dibandingkan dengan 7 (tujuh) nagara ekonomi asia lainnya seperti Singapura, India, Malaysia, Thailand, China, dan Filipina (World bank, 2014). Namun, tunjangan kinerja instansi PNS dari tahun-ketahun secara bertahap meningkat.

Jika berbagai bentuk punishmenttelah diberikan namun tidak juga memberikan efek perbaikan kinerja, maka bentuk punishment terakhir adalah pemberhentian atau pensiun dini. Dalam Pasal 77 ayat (6) dan Pasal 100 UU ASN, disebutkan bahwa PNS atau PPPK yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Melalui ketentuan ini, maka pensiun dini dapat dilakukan tidak hanya atas permintaan sendiri atau perampingan organisasi, melainkan juga karena PNS yang bersangkutan terkena sanksi akibat buruknya kinerja.

Yang perlu menjadi catatan dalam implementasi instrument reward and punishment sebagaimana disebutkan di atas, harus terlebih dahulu ditentukan ukuran kinerja pegawai. Reward and punishment dapat dilakukan jika sudah ada ukuran yang jelas mengenai kinerja pegawai untuk dapat dilakukan penilaian. Dalam penilaian kinerja, instrumen penting adalah adanya kesepakatan kinerja antara seorang PNS dengan unitnya, dan antara satu unit dengan instansinya. Untuk pejabat Pimpinan Tinggi juga harus ada kesepakatan kinerja dengan atasannya. Hal ini sejatinya sudah diwacanakan dengan konsep kontrak kinerja. Hanya saja implementasi kontrak kinerja ini belum optimal, disebabkan oleh konsep dan political will pemerintah yang masih rendah. Melihat apa yang dilakukan di beberapa negara, kontrak kinerja ini dilakukan dalam bentuk tim melalui apa yang disebut sebagai kontrak menajemen. Setiap tim (unit) membuat indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu (satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan satu tahun). Dan setiap individu dalam tim, harus melaksanakan sejumlah indikator yang telah ditetapkan. Indikator-indikator yang telah disusun dievaluasi oleh kepala unit dan seterusnya oleh kepala instansi pemerintah. Melalui capaian indikator, baru dapatditentukan reward dan punishment yang akan diberikan, sekaligus juga menjadi catatan penting dalam kinerja dan promosi pegawai (eko, 2010).

Kemudian hal ini diadopsi dalam UU ASN yang mengatur bahwa harus ada perjanjian kinerja yang disepakati PNS berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi yang ditentukan dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS yang bersangkutan. Dengan ini, baru kemudian penilaian kinerja dapat dilakukan oleh Tim Penilai Kinerja yang dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang. Kemudian penilaian kinerja tersebut harus dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan (Pasal 76 UU ASN).

Untuk menjaga objektifitas penilaian, Penilaian kinerja PNS dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya, untuk kemudian hasil penilaiannya disampaikan kepada tim penilai kinerja. Dari hasil penilaian tersebut, kemudian PNS yang bersangkutan sudah diberi kesempatan namun tetap tidak mampu mencapai target kinerja yang diperjanjikan, maka PNS tersebut dapat dipensiun dinikan. Disinilah pensiun dini menjadi bentuk punishment terakhir akibat tidak tercapainya kinerja.

Pensiun dini akibat tidak berkinerja seakan-akan merupakan hal yang tabu bagi Indonesia. Jamak dalam berbagai diskusi PNS sangat sulit diberhentikan karena tidak berkinerja. Namun hal ini tidak berlaku bagi negara-negara dunia yang punya komitmen tinggi dalam melaksanakan reformasi. Di Korea Selatan pada masa Kim Dae Jung, dalam rangka memuluskan reformasi administrasi, diperkenalkan suatu rencana yang agresif untuk mengurangi struktur sektor publik dan mengurangi jumlah pegawai negeri sebesar 19% hanya dalam waktu dua tahun yaitu tahun 1998-2000. Di Cina pada masa kebangkitannya oleh Deng Xiao-Pingyang mengambil beberapa langkah reformasi dengan merampingkan lembaga pemerintah dari 100 menjadi 61,mempensiunkan 30.000 kader komunis dari birokrasi yang menganggu kinerja, dan mengurangi jumlah pegawai Komite Nasional Ekonomi dan Perdagangan Cina dari 33.000 menjadi 16.000 pegawai (Yang, 2007). Dengan bercermin dari dua negara besar asia ini, maka pensiun dini karena tidak berkinerja bukan lah hal yang mustahil dilakukan, terutama kepada PNS yang memang tidak memberikan konstribusi apapun, hanya membebani keuangan negara, dan keberadaannya lebih baik dari ketidakberadaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun