Beberapa waktu lalu, sahabat saya, Tenta Wijaya, mahasiswa teknik sipil di Politeknik Semarang, cerita soal temannya yang menyalahgunakan KIP (Kartu Indonesia Pintar). Alih-alih membantu pendidikan, kartu itu malah dipakai untuk kepentingan lain yang jauh dari esensi awalnya. Saya lantas teringat berbagai kejadian serupa: program-program niat baik yang akhirnya cuma jadi akal-akalan, fasilitas umum yang malah diselewengkan, dan kebijakan yang gagal karena manusianya belum siap secara mental maupun SDM.
Nah, soal SDM ini, ukuran "siap" itu sebenarnya apa? Apakah soal tingkat pendidikan? Soal sertifikat pelatihan? Soal bisa bikin laporan rapi? Atau soal benar-benar memahami kenapa kebijakan itu ada dan menjalankannya dengan niat yang sesuai?
Yang sering terjadi di negeri ini, kita lebih sibuk memenuhi syarat administratif daripada mempelajari substansinya. Ada bantuan pendidikan? Oke, ayo buru-buru urus kartu, lengkapi berkas. Ada peluang dana hibah? Gas bikin proposal, utak-atik laporan keuangan. Ada kebijakan baru soal legalitas instansi, lembaga, atau semacamnya? Monggo dikebut pengesahan, cari cara supaya terdata. Tapi setelah semua itu selesai, apakah fungsinya benar-benar dipahami dan dijalankan dengan baik?
Di sinilah masalahnya: kita sibuk mengejar "terdata", tapi kopong soal isi.
Fasilitas Umum, Manfaat Pribadi
Contoh paling dekat: trotoar. Itu dibuat untuk pejalan kaki, tapi malah jadi lahan parkir atau tempat jualan. Jalan raya? Ada jalur khusus bus, tapi diterobos motor. Bantuan pendidikan? Ada yang beneran butuh dan memanfaatkannya, tapi banyak juga yang cari celah buat "ngemplang".Â
Ini bukan sekadar soal peraturan yang lemah, tapi juga soal mentalitas. Kita ini sering kali bukan bermental mencari manfaat bersama, tapi mencari cara agar fasilitas umum bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Kalau bisa diakali, kenapa tidak? Dan instansi yang bersinggungan dengan orang banyak, termasuk lembaga, termasuk di dalamnya semacam aktivitas pengajian sore di kampung-kampung, bukankah itu juga masuk di dalam keterlibatan ruang publik? Ada anak didik, ada orang tua, ada masyarakat.Â
Padahal, semua fasilitas itu hadir dengan tujuan besar: membantu, memudahkan, memberi kesempatan yang lebih luas. Tapi kalau yang menerima belum siap secara mental, kebijakan sebaik apa pun akan meleset dari sasaran.
Mengejar Legalitas, Lupa Esensi
Hal yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan. Sekarang ini, banyak lembaga pendidikan atau aktivitas pembelajaran kultural macam ngaji sore atau ngaji ba'da maghrib di kampung-kampung, buru-buru mengurus legalitas. Tujuannya? Supaya dapat bantuan, dapat anggaran, dapat "pengakuan". Bagus, sebenarnya. Ini adalah upaya negara memperhatikan keadaan di akar rumput. Membantu guru ngaji, dan tenaga pengajar pendidikan kultural secara ekonomi. Bagus, dan guru-guru ngaji di kampung itu sebenarnya butuh itu. Akan tetapi, ironisnya, sebagian pengelola yang hanya berfokus sama data itu, ya justru memanfaatkan momen tersebut. Apakah semangat memenuhi legalitas itu juga dibarengi dengan semangat memikirkan bagaimana cara membentuk sistem pembelajaran yang baik? Bagaimana mendidik anak-anak dengan benar?