Di dalam pusaran dinamika masyarakat Nahdliyyin, fenomena "gus" selalu memiliki daya tarik tersendiri. Gus, yang pada dasarnya adalah gelar informal bagi anak kiai atau figur penting dalam kultur pesantren, telah menjelma menjadi ikon yang tak hanya mencerminkan tradisi keilmuan, tetapi juga simbol warisan spiritual yang dihormati. Namun, di era digital yang serba cepat ini, sosok gus tidak lagi hanya hadir sebagai pembimbing moral, tetapi juga sebagai figur populer yang mencuri perhatian lintas kalangan.
Para gus kini tidak sekadar berdakwah di atas mimbar, tetapi juga memenuhi linimasa media sosial. Dari konten ceramah ringan hingga unggahan gaya hidup yang "islami tetapi tetap modern", mereka sukses mengemas diri menjadi sosok idola yang relevan dengan kebutuhan zaman. Pengajian yang digelar di lapangan luas atau aula besar dipenuhi ribuan jemaah yang rela berdesakan hanya demi mendengar petuah sang gus, atau bahkan sekadar untuk selfie bersama. Akan tetapi, di balik keramaian itu, muncul pertanyaan: apakah kehadiran kita di tengah kerumunan itu didasari kebutuhan mendalam akan ilmu, atau hanya demi sensasi singkat yang menyenangkan hati?
Fenomena Gus sebagai "Selebritas Religi"
Kita tidak bisa menutup mata bahwa para gus kini telah memasuki ranah yang berbeda dari generasi sebelumnya. Gus-gus muda seperti mereka bukan hanya pewaris tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga agen budaya yang kerap mencampur nilai-nilai Islam dengan tren modern. Dari segi dakwah, hal ini jelas membawa keuntungan: ajaran agama menjadi lebih mudah diterima dan terasa relevan, terutama bagi generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital.
Namun, dalam proses ini, ada risiko degradasi esensi. Popularitas kerap membuat konten dakwah menjadi dangkal. Beberapa gus lebih sering membahas isu-isu ringan yang viral daripada masuk ke inti persoalan sosial yang mendesak. Tentu, ini tidak berlaku untuk semua gus, tetapi kecenderungan ini mengindikasikan adanya pergeseran fokus dari misi dakwah menuju pencitraan. Akibatnya, masyarakat Nahdliyyin lebih sering menjadi "penikmat" retorika daripada "praktisi" nilai-nilai yang seharusnya ditanamkan.
Romantisme Kerumunan: Tradisi yang Perlu Dikaji Ulang
Salah satu daya tarik utama dalam tradisi Nahdliyyin adalah kerumunan besar dalam pengajian. Kita sering melihat lautan manusia memenuhi pengajian akbar, baik di desa maupun kota. Di satu sisi, ini adalah simbol solidaritas komunitas yang membanggakan. Namun, di sisi lain, kerumunan semacam ini sering kali lebih menonjolkan euforia daripada substansi.
Apa yang sebenarnya terjadi setelah pengajian usai? Apakah ribuan orang yang hadir benar-benar pulang dengan pemahaman baru tentang Islam, atau hanya merasa puas karena telah ikut berpartisipasi dalam acara besar? Jika setelahnya akhlak dan perilaku sosial tidak berubah, lalu apa gunanya?
Tradisi berkumpul untuk mendengar ceramah adalah bentuk ibadah, tetapi kita harus jujur mengakui bahwa itu belum cukup. Islam tidak hanya berhenti di tataran simbolik, tetapi harus diterjemahkan ke dalam perilaku nyata. Apa gunanya mendengar ceramah tentang kejujuran jika kita masih korup dalam pekerjaan? Apa manfaatnya memahami pentingnya toleransi jika kita masih mencaci orang yang berbeda pandangan?
Transformasi dari Ritual ke Praksis