Perjalanan, kata yang begitu akrab di telinga, tetapi seringkali kita sulit memahami atau bahkan menghayati sepenuhnya. Ia hadir dalam berbagai rupa: langkah fisik dari satu tempat ke tempat lain, perubahan batin dari ketidaktahuan menuju pemahaman, atau waktu yang menggerakkan kita tanpa henti, dari kelahiran menuju kematian. Namun, apa yang sesungguhnya kita cari dalam perjalanan ini? Dan apakah perjalanan itu memang memiliki akhir?
Dalam setiap langkah, manusia membawa dua hal: harapan dan keraguan. Harapan adalah jangkar yang membuat kita tetap teguh di tengah badai, sementara keraguan adalah layar, yang memaksa kita terus bergerak, meski arah angin tak selalu berpihak. Namun, ke mana sebenarnya langkah kita menuju?
Kita sering terjebak dalam gagasan bahwa perjalanan harus memiliki tujuan: keberhasilan, kebahagiaan, atau mungkin keabadian. Tetapi perjalanan, seperti yang diajarkan alam, tidak selalu memiliki garis akhir. Sungai mengalir ke laut, tetapi laut kembali mengirimkan airnya ke langit. Dalam siklus itu, tak ada titik henti, hanya perubahan bentuk. Maka, apakah kita benar-benar membutuhkan akhir untuk menemukan makna?
Umbu Landu Paranggi, penyair yang lebih memilih sunyi daripada sorotan, adalah contoh nyata dari perjalanan yang mencari kedalaman, bukan pada tujuan semu. Ia berjalan dalam bayang-bayang, menjelajahi bukan hanya jalan-jalan di Yogyakarta, tetapi juga lanskap batinnya sendiri. Alih-alih menuntut pengakuan atas namanya, Umbu lebih memilih menjadi pelatih jiwa, menyemai benih puisi dalam percakapan sederhana di sudut-sudut Malioboro.
Bagi Umbu, perjalanan bukanlah tentang pencapaian atau garis finis, tetapi tentang bagaimana kita memahami langkah demi langkah. Dalam sunyi, ia menemukan makna; dalam anonimitas, ia menemukan dirinya. Ia menolak arus modernitas yang penuh dengan glamor dan kemegahan, memilih menjadi pelaut yang berlayar ke pulau-pulau kecil jiwa manusia. Dari situ, ia mengajarkan bahwa perjalanan sejati adalah perjalanan kembali ke inti diri---tempat segala makna bersemayam.
Namun, manusia sering bertanya: untuk apa semua ini? Dalam kehidupan sehari-hari, badai dan ombak selalu datang silih berganti. Kita menghadapi kehilangan, rasa sakit, dan kekecewaan yang seolah mengaburkan arah. Tapi, seperti yang diajarkan Umbu, badai bukanlah musuh, melainkan guru. Justru dalam badai itulah manusia menemukan kekuatan, seperti seorang pelukis yang menemukan keindahan dalam retakan kanvasnya.
Goethe pernah menulis, "Was suchen wir denn so weit und fern? Sieh das Gute liegt so nah." (Mengapa kita mencari begitu jauh? Lihatlah, kebaikan itu ada begitu dekat.) Perjalanan tidak harus menuju tempat yang jauh; ia bisa terjadi di sini, di dalam diri kita sendiri. Kadang, yang kita cari bukanlah dunia luar, melainkan kedamaian untuk menerima apa adanya.
Seperti Umbu yang memilih sunyi, perjalanan kita mungkin tidak perlu diwarnai oleh riuh tepuk tangan atau sorak sorai keberhasilan. Kadang, perjalanan terbaik adalah saat kita berdiri diam, mendengarkan angin, dan menyadari bahwa langkah kita telah membawa kita pulang---bukan ke tempat baru, tetapi ke pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri.
Dan pada akhirnya, bukankah hidup itu sendiri adalah perjalanan yang tak pernah selesai? Dari kelahiran hingga kematian, kita terus bergerak, terus berubah, terus mencari. Kita membawa harapan dan keraguan, seperti layar dan jangkar, tanpa benar-benar tahu ke mana arah kita menuju. Tetapi, selama kita terus melangkah, kita akan selalu menemukan sesuatu---entah itu pemahaman, penerimaan, atau keindahan sederhana yang sering terlewatkan di sepanjang jalan.
Maka, barangkali, perjalanan itu sendiri adalah jawabannya. Perjalanan, seperti hidup, adalah misteri. Dan mungkin, misteri itulah yang membuatnya layak dijalani. []