Ada momen yang sering terlewatkan dalam hidup, yang datang tanpa undangan dan pergi tanpa tanda perpisahan. Itu terjadi di ruang kecil, di atas porselen putih, di mana pikiran berjalan pelan, seperti sungai yang malas. Di sana, kita menemukan jeda---bukan sekadar dari rutinitas yang berderap, tapi dari diri kita sendiri.
Di atas WC, waktu melambat. Tak ada yang benar-benar mendesak. Dunia yang bising di luar pintu seolah meredup, seperti suara yang merambat jauh dari balik dinding. Aneh, sebuah tempat yang dianggap remeh justru menjadi ruang untuk keheningan yang langka.
Keheningan ini bukan ketenangan yang megah. Ia sederhana, kadang disertai suara air menetes atau angin yang menggesek kisi-kisi ventilasi. Tapi di sana, ada ruang untuk berpikir---atau lebih tepatnya, ruang untuk tidak berpikir.
Filsuf mungkin akan mencemooh. Tapi, bukankah di sini kita sering mendapatkan kilasan-kilasan kecil yang penting? Mungkin bukan gagasan besar tentang kosmos, tetapi jawaban atas email yang tertunda, atau rencana makan siang sederhana. WC adalah ruang bagi manusia untuk menghadapi banalitas hidupnya sendiri, tanpa pretensi.
Ada paradoks di sini. Tempat yang dianggap menjijikkan, bahkan tabu untuk dibicarakan di ruang publik, justru memberi kita momen yang lebih intim dari ruang kerja, lebih jujur dari meja makan, dan lebih damai dari ruang tamu. Di atas WC, kita adalah diri kita sendiri---tanpa riasan sosial, tanpa topeng, tanpa tuntutan untuk menjadi apa-apa.
Goenawan Mohammad pernah menulis tentang bagaimana hal-hal kecil membawa kita ke dalam renungan besar. WC mungkin tidak seagung puncak gunung, tidak sebersejarah meja tulis seorang penulis besar, tetapi ia adalah ruang manusiawi---di mana ketenangan menemukan jalan dalam kekosongan.
Namun, bayangkan jika momen di atas WC itu lebih dari sekadar jeda. Mungkin ia adalah simbol paling telanjang dari eksistensi kita. Bukankah WC, dengan segala kefungsian yang begitu mendasar, menjadi tempat kita menghadapi kenyataan tubuh---dan melalui tubuh, kenyataan hidup itu sendiri?
Setiap manusia, tanpa kecuali, datang ke tempat ini. Tidak peduli apakah ia seorang presiden atau tukang sapu, selebritas atau orang biasa, kaya atau miskin. Di ruang ini, tidak ada yang membawa atribut-atributnya. Kita hanya manusia. Tidak ada ruang lain yang lebih adil daripada WC, sebuah tempat yang tidak peduli siapa kita di luar sana.
Dan mungkin, justru di situlah keajaiban kecilnya. WC menjadi ruang meditatif tanpa kesan serius. Ia mengingatkan kita bahwa momen refleksi tidak harus datang dalam keagungan atau kesunyian alam yang megah. Kadang, refleksi itu datang bersama bunyi air yang mengalir, tisu yang robek, dan ventilasi kecil yang membiarkan sepotong sinar matahari masuk.
Bahkan, di sana ada seni kecil yang sering luput kita sadari. Cara kita menyalakan kran air, atau cara kita menyiram. Semua itu adalah gerakan sederhana, nyaris otomatis, tetapi diam-diam ia membawa kita kembali ke inti: bahwa manusia adalah makhluk kebiasaan, makhluk yang hidup dari hal-hal kecil yang terus berulang.