oleh: sayyid irsyadut thoriq
mahasiswa STAI AL Anwar sarang rembang
prodi Ilmu Al Qur`an dan Tafsir
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, ada pelanggaran konstitusi dan nilai Pancasila pada kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib yang hingga 17 tahun tak tuntas terungkap.
Feri menilai, kematian Munir menunjukkan pelanggaran atas Pasal 28 huruf i Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib mendapatkan perlindungan untuk tidak dibunuh dan disiksa. "Yang saya pahami ada beberapa hal ikut mati dengan dibunuhnya Munir, terbunuhnya konstitusi kita sebab Pasal 28 huruf i menyatakan bahwa ada perlindungan setiap orang untuk tidak dibunuh, disiksa, dan lain-lain," ujar Feri dalam diskusi virtual yang diadakan Tim Public Virtue Research Institute dan Themis Indonesia, Senin (6/9/2021).
Seharusnya, kata Feri, negara membangun mekanisme untuk memastikan perlindungan nyawa warganya. Selain itu, belum terungkapnya dalang kematian Munir juga tak sesuai dengan nilai Pancasila
Kasus Munir, kata dia, menunjukkan tidak ada penerapan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial "Secara tidak langsung ketika pembunuhan ini terjadi dan upaya-upaya untuk membongkar kejahatan ini ditutupi oleh negara maka negara pada dasarnya telah ikut membunuh nilai-nilai Pancasila," ujar dia.Dalam pandangan Feri, setelah 17 tahun kematian Munir dan perkaranya yang tak kunjung tuntas mestinya pemerintah tersadar bahwa telah terjadi penyimpangan hukum. "Di mana penyimpangan-penyimpangan kekuasaan itu akan mudah dilakukan dan terjadi,” kata dia. Terakhir, Feri berharap bahwa peringatan 17 tahun kematian Munir akan ada pihak yang berani mengatakan siapa pembunuh Munir sebenarnya. "Apa sebabnya warga negara menghabiskan waktunya untuk mengabdi pada negara ini kemudian tiba-tiba direncanakan sedemikian rupa untuk dibunuh," ujar Feri.
Adapun Munir meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan udara dari Jakarta menuju Amsterdam melalui Singapura. Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 mengungkapkan Munir meninggal di dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 sekitar dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol, Amterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat. Hasil otopsi menunjukan adanya senyawa arsenik dalam tubuh aktivis HAM tersebut.
Sejumlah pihak menduga Munir diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, atau bahkan saat berada di Singapura. Dalam perkara ini mantan Pilot Garuda, Pollycarpus Budhari Priyanto dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan pada Munir. Ia divonis 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005. Putusan itu diperkuat oleh majelis hakim di tingkat banding. Kemudian pada di tingkat kasasi majelis hakim Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Pollycarpus hanya terbukti melakukan pemalsuan penggunaan surat palsu. Majelis hakim MA kala itu mengatakan bahwa Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana pada Munir.
Namun putusan itu juga tidak bulat, karena Hakim Agung Artidjo Alkostar punya pandangan berbeda. Ia menilai Pollycarpus turut serta melakukan pembunuhan. Lalu pada 25 Januari 2008, kasus Pollycarpus berlanjut pada tahapan Peninjauan Kembali (PK) di MA. Dalam putusan PK majelis hakim memvonis 14 tahun penjara untuk Pollycarpus. Namun banyak pihak menilai bahwa aktor intelektual dalam kasus tersebut belum terungkap hingga saat ini.
Kasus pembunuhan munir said thalib, seorang aktivis HAM merupakan tragedi yang menyita banyak perhatian public dan memunculkan berbagai pertanyaan tentang keadilan . pada kasus munir terdapat ketidakadilan secara kebebasan (otonom), distribusi dan respon dari pihak berwajib. .penyelesaian kasus HAM yang tidak kujung tuntas dan masih menyisakan banyak tanda tanya seolah negara menutup nutupi kebenaran kasus ini.