Korupsi adalah tindakan yang selalu hadir dalam segala bidang. Karena tidak bisa dipungkiri, giuran harta dan keuntungan yang akan didapatkan melalui korupsi memang tidak main-main. Bidang-bidang yang paling sering melahirkan koruptor adalah Sektor Perniagaan, Sektor Aparatur Sipil Negara (ASN), Sektor Yudisiil termasuk pada profesi Hakim dan Advokat, Sektor TNI dan Polri, Sektor Perbankan, dan yang paling marak; Sektor Pemerintahan. Sektor ini penuh dengan kasus korupsi yang secara fluktuatif meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2008 hingga puncaknya pada 2018.
Menurut KPK, korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis menurut skala dampak dan perannya, yaitu petty corruption (korupsi kecil), grand corruption (korupsi besar), dan political corruption (korupsi politik). Dalam hal ini, jenis korupsi yang marak terjadi di Indonesia berpusat pada political corruption dan grand corruption. Grand corruption yang merupakan jenis korupsi yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara, dan political corruption yang melibatkan kekuatan politik dalam pelaksanaannya. Kedua hal ini merupakan komponen utama penyukses perebutan hak rakyat Indonesia.
Kedua jenis korupsi ini biasanya terjadi sektor yang telah disebutkan menjadi penyumbang koruptor dominan di Indonesia, yakni Sektor Pemerintahan. Â Pada jenis grand corruption, biasanya sektor swasta bekerjasama dengan pihak pemerintahan yang kebanyakan dalam bidang legislatif untuk meraup keuntungan untuk dirinya sendiri, sedangkan pada jenis political corruption, biasanya ketika ada satu atau segelintir orang yang menyalahgunakan kekuasaan politiknya. Keduanya adalah ibarat ancaman bergerilya, tetapi lampu sorot hendaknya kita arahkan kepada political corruption.
Mengapa political corruption perlu menjadi perhatian? Hal ini disebabkan karena political corruption akan menukik naik pada saat pesta demokrasi atau Pemilu 2024, pemilu yang akan menjadi ajang untuk semua lapisan masyarakat bisa berpartisipasi dalam penentuan nasib negeri. Penukikan political corruption ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan karena banyak faktor, yakni faktor terjadinya "transaksi" politik para calon dan pihak-pihak terkait atau terkuaknya kasus korupsi yang disebabkan karena kepentingan pihak tertentu. Maka dari itu, tren tindak pidana korupsi akan selalu menukik naik pada saat tahun-tahun pemilu, termasuk pada tahun 2004, 2009, 2013, dan 2018.
Berdasarkan ICW (Indonesia Corruption Watch) faktor penyebab political corruption yang berhubungan dengan "transaksi" politik biasanya adalah untuk pengumpulan modal, jual beli jabatan, jual beli pencalonan (candidacy buying), politisasi birokrasi dan pejabat negara, politik uang, manipulasi laporan dana kampanye, hingga suap kepada penyelenggara pemilu. Sedangkan dalam hal penguakan kasus korupsi, biasanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menyebarkan propaganda untuk menjatuhkan lawannya. Biasanya informasi ini diketahui jauh sebelum kampanye berlangsung dan dijadikan ultimatum kepada pihak lain apabila "diperlukan". Kedua hal ini berada pada dua bilah mata pedang yang berlawanan arah tetapi sesungguhnya sama-sama merugikan.
Di satu sisi, korupsi yang menjadi marak karena adanya Pemilu menjadi kerugian tersendiri bagi kesejahteraan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) seluruh rakyat Indonesia. Akan ada banyak pihak dan institusi yang akan dirugikan dengan permainan politik yang lama kelamaan berubah menjadi korupsi. Korupsi ini bisa terjadi pada trias mana saja di pemerintahan yang turut terlibat pada Pemilu, baik eksekutif maupun legislatif.
Menurut buku "Korupsi Pemilu di Indonesia" karya Ibrahim Z Fahmi Bodoh & Abdullah Dahlan, telah terjadi korupsi dana kampanye Rp 256,3 miliar di Pemilu 2004. Pasangan calon paling banyak sumbangan adalah Megawati-Hasyim yang didukung oleh badan hukum dan perusahaan. Keuntungan Megawati sebagai mantan Presiden membantu pendanaan kampanye dengan akses ekonomi dan pengaruh politik, termasuk dukungan birokrasi dan kepolisian. Penyalahgunaan dana melalui nama palsu dan pengulangan sumbangan perusahaan. Temuan ini mengungkap kelemahan pengaturan dana kampanye yang perlu diperbaiki di masa depan, dengan total manipulasi Rp 13,6 miliar.
Bukan hanya dengan cara di atas korupsi dilakukan. Masih ada banyak cara licik yang dapat digunakan oleh calon eksekutif dan legislatif untuk meraup keuntungan dan menghalalkan segala cara untuk kongkalikong dengan hasil Pemilu. Hal ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga merusak arti penting Pemilu sebagai ajang pesta demokrasi itu sendiri.
Namun, disisi lain, penggunaan propaganda korupsi terhadap tim lawan yang marak dilakukan saat pemilu juga merupakan udara segar untuk rakyat, karena dapat mengetahui sisi gelap para calon tertentu. Contoh pada Pemilu Indonesia tahun 2004, terjadi penggunaan propaganda korupsi terhadap tim lawan. Salah satu contohnya adalah penyebaran tuduhan korupsi terhadap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersaing dengan Megawati-Hasyim Muzadi. Meskipun tuduhan tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat, propaganda tersebut digunakan untuk merusak citra dan reputasi tim lawan, serta menggugah keraguan publik terhadap integritas mereka.Â
Maka dari itu, sejatinya intensi pembuat propaganda perlu dipertanyakan ketika dia tidak langsung melaporkan kasus korupsi itu setelah dia mengetahuinya, atau ketika pembuat propaganda itu membuat hal demikian hanya untuk berkemungkinan menyebabkan sebuah distorsi informasi yang dapat mempengaruhi opini publik. Maka dari itu kedua sebab sejatinya sama-sama dapat menyebabkan kerugian bagi Pemilu dan keseluruhan rakyat Indonesia karena propaganda semacam ini dapat memiliki dampak negatif pada proses pemilihan, mengubah persepsi pemilih, dan mempengaruhi hasil akhir pemilu.
Walau bagaimanapun juga, Pemilu seharusnya bisa menjadi perayaan demokrasi untuk rakyat Indonesia, bukan malah ajang unjuk gigi para koruptor yang rela menghalalkan segala cara hanya untuk "dipilih" oleh rakyat Indonesia. Hal-hal semacam di atas adalah contoh bagaimana korupsi dapat menyebabkan dampak buruk bagi berbagai pihak dan bagi kesakralan hasil Pemilu. Tindakan-tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif juga harus dilakukan oleh pihak terkait untuk menyikapi fenomena yang selalu menjadi tren setiap lima tahun sekali ini agar Indonesia bisa mewujudkan demokrasi yang seutuh-utuhnya.