“Hahaha...” tertawa teman sekelasku yang baru, di jenjang pendidikan baru, kota baru, pulau baru dan bahasa baru. Ya, UIN Maliki Malang, tempatku menyebut diriku Coqhy sebagai nama panggilanku yang membuat orang-orang geli mendengarnya. “Dia dari Sulawesi atau Nusa Tenggara sih?”, tanya salah seorang wanita di pojok depan kelas, meembuatku semakin semangat untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa ku datang ke daerah orang dengan identitas yang tidak jelas, karena dengan diketahuinya identitasku yang sebenarnya akan membuat orang lain benci ataupun sebaliknya, biarlah orang lain menilai tidak dari apa yang mereka dengar tapi dari apa yang lihat. Sehingga inilah yang mengawali kepura-puraanku yang hanya pura-pura.
Ku awali prinsipku ini dengan nama samaran yang pura-pura kusamarkan, Coqhy, namaku sewaktu kecil dan juga nama bully-anku kegunakan sebagai simbolku selama di sini. “Coqhy itu artinya kucing dalam bahasa bugis.” Kataku saat masih berdiri depan kelas memperkenalkan diri. Awalnya saya pribadi yang pendiam dan cuek yang kupura-purakan menjadi kepura-puraanku. Setelah berjalan beberapa lama, aku merasa pendiam tidak lagi bisa digunakan di usia produktif saat sekarang. Jadi, saya memilih menjadi pribadi yang membingungkan. “Kemarin dia pendiam, sekarang dia bikin kesel, apa-apaan sih si coqhy tuh?, cletuk salah satu temanku yang juga hampir sama dengan namaku, Ciko. SI Ciko mengatakan itu saat itu aku berdiri di depan kelas dan berkata “Hari ini dosen tidak akan tidak datang dan tidak akan tidak di sini”. Sontak muncul tanda tanya besar di semua kepala 34 mahasiswa saat itu dan aku hanya tertawa dalam hati melihat ekspresi bingung mereka yang khas. “Oalaah”, ungkapan yang sampai saat ini masih saya geli mendengarkannya dikatakan oleh hampir semua mahasiswa saat mereka baru mengerti setelah 10 menit saya mengatakan itu. Hari demi hari, ku terus memberikan hal yang membingungkan kepada setiap harinya.
Seminggu kemudian, fakultas mengadakan kegiatan yakni outbond di Coban Rondo, salah satu wisata air terjun di Malang. Sebelum para maba berangkat, kami diberi beberapa tugas dan salah satunya adalah menulis essay tentang Who Am I yang membuatku berpikir panjang, apakah saya harus berbohong di essay atau jujur. Selama 2 hari saya belum mengerjakan apa-apa sampai malam terakhir sebelum pemberangkatan ke sana. Dan akhirnya, sebuah ide gilaku muncul, “Kalau saya bisa membuat bingung orang-orang sekelas, bagaimana dengan orang se-angkatan ya?”, semangatku dalam hati sembari memulai menorehkan pena di atas kertasku hingga selesai dengan judul “SIAPA?”. Pergilah kami ke lokasi outbond untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa baru. Hari pertama berjalan dengan cukup lancar dan terus berharap bahwa essay yang saya tulis tidak akan diperiksa.
Tibalah hari kedua outbond yang sangat membosankan dengan hanya pemberian makan dan materi saja. Namun di tengah-tengah materi, sang pemateri mengambil semua essay mahasiswa baru dan mulai memilahnya satu persatu. Saat itu saya sedang tidur nyenyak sambil duduk. Setelah beberapa saat, sang pemateri tidak hanya memeriksa essay namun juga memanggil beberapa mahasiswa untuk menjelaskan apa yang mereka tulis dan saya masih dalam keadaan tidur lelap di dalam forum. “Prok...prok..prok”, suara tepuk tangan membangunkanku, dan pemateri langsung menyebut namaku untuk menjelaskan atas apa yang saya tulis. Seketika itu saya maju ke depan sambil mengingat kembali yang saya katakan sebelum datang ke tempat ini, dan akhirnya pikiran hati dan raga saling mengerti dan semua berjalan atas kemauan semua bagian dari saya. Semuanya ingin saya agar membuat orang bingung. Kulangkahkan kaki dan mulai berbicara.
“Saya Choqi dan saya adalah pribadi yang penuh dengan kepura-puraan”, sontak teman-teman kelasku kaget dan masing-masing dari mereka berkata “Berarti selama ini kamu hanya berpura-pura, bahkan berteman dengan kami adalah pura-pura?” eksprei jengkel, marah, kesal dan merasa dikhianati tergambar di wajah mereka, namun saya tetap tenang.
“Ketika saya cuek, itu berarti saya peduli dengan kalian dan begitupun sebaliknya”, mulailah semua memasang wajah bingung nan bengong setelah itu. Di akhir penjelasanku, yang membuat mereka semakin bingung nan bengong adalah “terakhir, ketika teman-teman ingin sharing lebih jauh mengenai saya, silakan karena saya sedang berpura-pura”. Tepuk tangan teman-teman tak mengiringiku kembali ke tempat dudukku, hanya aura kebingungan yang saya rasakan. Saya sama sekali tidak terpengaruh dengan respon mereka, namun saya malah merasa semangat dan senang dengan penyampaian Who Am I yang sebenarnya. Setelah acara itu selesai acara itu, saya diberi label “Mahasiswa Pura-Pura” yang menjadi ciri khas bahwa apa yang saya katakan tidak dapat diterima dengan baik oleh kebanyakan teman-teman.
Hingga ada sebuah forum biasa yang bisa kugunakan untuk membuat orang-orang yang salah tafsir akan apa yang telah saya katakan di outbond itu. Nah, lewat tulisan inilah saya anggap sebagai forum itu.
“saya pura-pura untuk berpura-pura terhadap kalian, dengan makna bahwa saya tidak pernah berpura-pura”
Karena menulis cerita inipun saya sedang berpura-pura untuk pura-pura menulis. Selamat berbingung ria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H