Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luruhan Rasa

25 Desember 2024   07:01 Diperbarui: 25 Desember 2024   07:01 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biar kutebak, setelah ini Bunda akan marah-marah sembari sibuk mengepel lantai rumah yang basah karena aku dan adik yang bermain kejar-kejaran setelah basah kuyup diguyur air hujan. Kakak, di sofa, memelototi kami sebagai ultimatum. Sekali Bunda marah, semua akan kena imbasnya!

"Siapa suruh liburan di saat musim hujan begini? Kemarin kalian ngotot sekali, Bunda sudah kemaskan sampai malam koper-koper kalian. Kalau seandainya sebegitu maunya kalian liburan pun, seharusnya mengemas barang-barang sendiri. Lihat, di luar banjir, mobil Kakak mogok." Lah, tebakanku salah, malah Kakak yang ngomel. "Order saj-" "Tidak bisa! Order ojol pun tidak akan ada yang mengangkat. Listrik mati." Omongan adikku dipotong. Ups, aku tidak mau terlibat.

"Lagian Kakak, yang benar itu siapa suruh hujan, huh?" Adikku menyeletuk. "Hush! Hujan itu rahmat," sahutku. "Mana buktinya? Pak Rahmat itu manusia, kok," balas adikku lagi. Idih, jokes garing. "Hei, hei. Hujan itu, menurut Kakak bukan sekedar Pak Rahmat, tetapi juga banyak makna lainnya. Aish sudahlah, Kakak ke kamar, tidur. Da~" Adikku yang sukanya mengikuti orang buang air saat kecil itu, jelas ikut Kakakku. Akhirnya sepi, aku sendirian di balkon lantai dua. Memang benar sih, hujan bukan hanya rahmat. 

"Dan kataku--bukan orang zaman dulu--hujan adalah ketika awan bertemu dengan angin dan air untuk melepas rindu dalam gemuruh kasih yang tak akan didapat orang. Ia adalah keberisikan yang tenang. Temaram-temaram langit yang padam. Keindahan. Ia kebebasan di mana kau bisa berlari sepuasmu di dalamnya. Kecuali ketika kau mencari ruang-ruang kosong yang penuh renungan dan lolongan kesakitan. Hanya seandainya payung dan mantel tidak ditemukan untuk melindungi kita dari kebebasan. Rasa-rasa--sedih, berduka, marah, kecewa, khawatir, rindu, bahagia--berjuta manusia akan luruh dan larut dalam air hujan. Bercampur aduk dan turun terserap bumi."

Setidaknya itulah yang mimpiku katakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun