Kawan-kawanku gemar berpakaian sutra dan menyembunyikan belati di dalamnya. Mereka menyelipkan belati-belati tipis yang dapat membunuh orang dengan sekali hunus dalam bayangan-bayangan kebaikan. Belati-belati itu bukan hanya dalam artian baja yang tersembunyi, tapi juga kata-kata yang dipintal rapi dari bibir mereka. Satu dari mereka memandangku sembari tersenyum memuakkan.Â
"Aku ingin kau menghilang," kataku padanya.Â
"Kamu tidak punya teman lagi selain aku," balas tatapan congkaknya.
Aku tersedak dicekoki kenyataaan. Satu-satunya masalah di sini adalah: apa yang dia katakan selalu benar. Karena itu, kutundukkan wajahku dan murung. Dalam lubuk hatiku yang terdalam aku ingin--menenggelamkannya dalam keputusasaan dan pergi--bertingkah seperti cermin.
"Aku berhasil merasa bahagia," kataku pada lainnya.
"Selamat," perih tawa palsunya.
Mual. Ingin kumuntahkan semua omong kosong tak masuk akal itu. Namun kurasa, kalimatnya telah membekas biru dalam kulitku. Bulu kudukku merinding, buku-buku jari halusnya mulai mencengkram milikku dan menyangkutkan seutas tali di sana. Ia mencekikku dengan rantai besi dingin yang sanggup melepuhkan kulit.
Kuharap aku memakai baju zirah yang mampu melindungiku dari tangan menjijikkan itu. Kedua bola mataku hanya bisa menerawang ke depan. "Siapa yang akan menolongku?" Lirih tanya lisanku pada kemunafikan. Seberapa kesedihanku membuncah hingga rongga dadaku penuh abu. Kemunafikan bilang hanya dialah yang dapat menolongku.Â
Hampir rasanya pikiranku menolak uluran harapan itu, tapi suara-suara yang tinggal di kepalaku akan mengamuk minta diberi keadilan. Tangisanku pecah. Sutra-sutra ini menjeratku. Mereka memaksaku memilih bangkai-bangkai teman dan memakannya hingga hancur dalam darah. Dengan ini aku tahu, suatu saat aku akan hancur juga. Lalu terkubur oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H