Setiap kali kamu berbicara, aku mendengarkannya. Entah itu bisikan kecil kekhawatiran akan hal lain atau teriakan senang. Aku pernah memberitahumu beberapa hal semacam sampah tak usah dikhawatirkan, lalu dengan kepala batu kau membalas  "sampah sekalipun berharga". Karena kau mendengar kalimat sampahku, aku menyampaikan sampah-sampah yang setidaknya berguna untuk mengubur ribuan ungkapan khawatirmu itu.
Matamu selalu tertuju pada para pemilik hati. Aku juga ingin kau menatapku, tapi kau bilang aku bukan salah satu dari mereka. Berawal dari itu, kumulailah perjalanan bersama kucing-kucing jalanan, berlomba mengais hati. Kutemukan satu dan kutunjukkan padamu. Kau tetap tak melirik walau sekilas.
Aku melaung agar setidaknya telingamu itu mengenali suara sumbangku. "Siapapun lihatlah aku!" Serentak semua mata tertuju padaku kecuali milikmu. Hingga sampai di sinilah aku. Merenungkan cara agar mata sayumu bisa melirikku. Semakin banyak jiwa yang kautatap, semakin sayu pula matamu itu. Kali ini aku berseru pelan, "Matamu terlalu sayu. Kau tidak akan pernah mau melihatku". (Kau tidak mendengar bisikan rancuku).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H