Kenapa saya marah hanya karena seseorang melempar piring ke pasangannya, atau bermain bola di kelas, atau bermain petasan di atas atap saya? Padahal dunia, menurut saya, bisa jadi jauh lebih baik jika rasa marah tidak ada. Saya tidak perlu memikirkan mereka yang melukai harga diri saya hingga tidak bisa tidur. Saya tidak perlu merasa tersinggung hanya karena mereka menyindir saya dengan kata-kata yang halus lembut seperti ubi, tapi menghasilkan muntahan warna ungu sesuai warna aslinya--karena tersedak. Kenapa harus manusia yang bisa merasa marah?Â
Maka saya berpikir.
Dan saya membayangkannya.
Jika hewan merasa marah--dan bukannya manusia--maka para kusir dokar akan mendapat memar warna ubi di mata dan kaki mereka. Ikan-ikan yang dimakan para kucing akan memberontak ke yang memakan mereka. Dan bisa jadi, seluruh simbiosis akan rusak perlahan-lahan, karena rasa marah.Â
Baiklah, karena resiko yang ditimbulkan, saya memilih memikirkannya dengan hal lain. Bagaimana jika tumbuhan bisa merasa marah?Â
Pohon-pohon akan marah karena mereka ditebang, dijadikan kertas tisu, dipotong-potong dan sekejap menjadi sofa, dan mereka bisa jadi, dengan keagresifannya, menggerakkan ranting-ranting mereka oleh dendam kesumat. Memburu setiap makhluk yang telah menyakitinya. Rumput akan memaki para penginjaknya. Dan bisa jadi, seluruh manfaat yang seharusnya manusia dapatkan dari tumbuhan, akan hilang perlahan-lahan, karena rasa marah.
Mungkin benar sudah. Manusia jika marah tidak akan menyemburkan api atau cairan asam sulfat yang bisa membunuh seluruh makhluk, merusak seluruh simbiosis, dan menghilangkan seluruh manfaat yang seharusnya manusia dapatkan dari tumbuhan. Mereka masih bisa memaki, membunuh sesama, atau apa, tapi mereka masih punya empati untuk melawan rasa marahnya. Dan hewan dan tumbuhan tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H