"Kamu tidak pulang?"
"Sebentar lagi. Setelah yang ini selesai," timpalku sambil melirik buku latihan soal tebal di meja. Ia mengangguk samar dan pergi. Kukira ia akan pulang, tapi ia kembali lagi kira-kira lima menit kemudian.
"Jujurlah, kamu tidak pernah pulang di bawah jam 7 malam kan, sebulan ini?" Kali ini aku hanya menggeleng dan menyengir. "Aku tidak heran, memang orang-orang tidak menyadarinya, tapi matamu itu sudah seperti panda," ia tertawa ringan. Besok-besok, ketika aku ke ruang belajar lagi dan tidak menemukan tempat untuk mencari ketenangan, tawanya itu akan terngiang-ngiang.
"Sebenarnya kenapa kamu belajar hingga seperti ini? Kamu sudah meraih peringkat pertama dari kelas pertama bertahun-tahun lalu. Mungkin sekarang kamu sudah bisa memecahkan tiga puluh soal tersulit dalam tiga puluh menit," mimpi apa aku semalam? Aku tersipu sedikit, ia memujiku!
"Hei, kamu serius ingin tahu?" Tanyaku balik.
"Tentu saja," ia mengambil salah satu buku di mejaku. Bukan buku latihan soal atau buku pelajaran, tapi buku fiksi dari rak nomor tiga paling atas. Aku tahu persis, karena itu buku kesukaanku. Buku yang tak pernah bosan kubaca walau sudah berkali-kali.
"Pertanyaan yang terlampau sederhana. Kamu sebenarnya tahu, alasanku sama dengan anak-anak lainnya. Aku ingin lulus dari sini dengan nilai baik, sempurna malah," aku meneruskan latihan soalku.
"Ya, kalau yang itu aku tahu. Tapi itu hanya salah satunya. Kamu pasti sebenarnya punya alasan lain, yang lebih besar, yang lebih tinggi, lebih spesial," tebakannya benar. Tapi rencanaku terlalu besar, terlalu tinggi, dan terlalu spesial. Aku tidak mau memberitahu. Lebih tepatnya belum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H