Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Silakan Pergi: Bagian 8

31 Maret 2024   21:17 Diperbarui: 31 Maret 2024   21:32 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

"Li akan pergi?" Mei membuka percakapan sambil menyiapkan kursi untuknya duduk. "Ya, ke akademi. Mungkin hanya sempat pulang tiga hari dalam satu bulan," Tuan Iko menjawab. "Lalu Li tinggal di mana dong?" "Aduh, ya jelas di asrama lah. Mau di mana lagi?" Sekarang yang ditanya yang menjawab langsung. "Tapi kenapa harus yang di ibukota? Di kota ini juga ada akademi." "Beda tahu! Yang di ibukota jelas lebih baik dari yang di kota ini." "Hah? Siapa yang bilang begitu? Ilmuwan terkenal? Albert Einstein bilang begitu? Atau Isaac Newton?"

            "Sudah! Berapa kali Ibu bilang, tidak ada pertengkaran di meja makan!" Sontak Nyonya Ke menaklukan dua macan yang berkelahi itu. Sudah jadi tradisi sih, setiap makan bersama selalu saja begini.

            Dan hari kepergian Li, yang tidak ditunggu-tunggu, datang. Memang tidak mengakui, tapi Mei tidak mau Li pergi. Sekarang Ia sekeluarga sedang di bandara, melepas Li. Sangat tidak disangka, Li yang dulu jaraknya hanya sepelemparan batu dari Mei, kemana-mana Mei selalu ngintilin saja, sekarang terpisah. Beda RT, beda RW, beda kota, beda provinsi, bahkan beda pulau. Untung belum beda dimensi. Agak gengsi, Mei memeluk Li. Pelukan perpisahan pertamanya.

            Setelah pesawat Li sudah take-off, Mei, Tuan Iko, dan Nyonya Ke langsung pulang. Begitu di rumah, ibu dan ayah Mei langsung bekerja di kantor masing-masing. Yah, apalah nasib Mei kali ini, ditinggal sendirian di rumah, anak bungsu memang nelangsa.

            Seminggu Li tidak ada di kota ini, Mei kesepian sekali, pakai banget malah. Semua hal terasa begitu cepat. Tidur, bangun, makan, ke sekolah sampai menjelang malam, makan, belajar lagi, tidur. Begitu terus. Mei tidak sempat lagi bercanda-bercanda seperti seminggu lalu. Ibu dan ayahnya terus saja tidak ada di rumah. Meja makan hanya diisi oleh satu orang saja sekarang, Mei. Perubahan yang terlalu signifikan, terlalu janggal. Masih seminggu, tradisi itu sudah terancam punah saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun