"Cepat, Lu!" Ibuku berteriak memanggilku dari lantai bawah. "Ya, Bu. Sebentar, dua menit lagi!" Aku menjawab setengah berteriak agar terdengar. Sekarang jam tujuh lebih tiga menit, jadi sampai panjangnya di satu saja! Kuambil perona pipi dan memakainya sambil melihat ke salah satu cermin itu yang diletakkan di kamarku. Wajah cemberutku terlihat di sana, sudah jelek tambah jelek. Aku berandai-andai menjadi orang yang sedikit saja lebih cantik dari ini, pasti seluruh hidupku berubah!
      Kuletakkan perona pipi itu kembali ke meja. Akh, sikuku terbentur pucuk meja dan perona pipi itu jatuh! Aku berjongkok untuk mengambilnya, saat hendak berdiri lagi, kepalaku menabrak penyangga vas, dan prang! Vas itu pecah seketika.
      Terpaksa aku meninggalkan kamar berantakan itu dan pergi ke lantai bawah. Aduh, sudah jam tujuh lebih tiga belas, telat sedikit. Tidak papalah. "Bu, ke mana perginya orang-orang?" Jelas kulihat tak satu orang pun ada. "Lu, kamu ini habis dari mana saja? Terserah mau kau sayang atau tidak sama Nenekmu, yang penting hormatilah. Masa acara tahlilan satu jam saja tak mau," Ibu sekonyong-konyong datang dari teras sambil membawa banyak barang. Aku menatapnya dan berkata, "Maaf Bu, tidak akan kuulangi..." Lalu kutundukkan kepalaku.
      "Ya sudah, makan sana. Ada rawon kesukaanmu," Berarti Ibu sudah tidak marah. Aku tersenyum dan mendongak, "Terima kasih Bu! Eee, tadi aku tidak sengaja menjatuhkan vas di kamar jadi terlambat sepuluh menit... Nanti akan kubereskan."
      "Sama-sama, ih anak Ibu, tiga jam dibilang sepuluh menit. Kalau kamu hanya telat sepuluh menit, mengapa Ibu perlu marah?" Ibu bergurau padaku. Tapi aku ditinggalkannya dengan mukaku yang bingung. Hah? Tiga jam? Lalu aku melirik jam, kenapa jarum pendeknya di sebelas?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H