"Aku mau dua kue itu!" Keputusan final setelah ia dan Li berkeliling dua lantai. Mei memohon pada Tuan Iko. Yah, hanya dua potong kue, kenapa tidak? Tuan Iko memberi Mei sejumlah uang. Segeralah ia membeli kue itu. Ketika Mei membayar ke kasir, ia tampak menghitung-hitung dengan jari. "Kenapa?" Tanya Li. "Ayah memberi kita uang lebih," jawab Mei. "Kalau begitu sisanya untukku," kata Li sambil nyengir kuda. "Enak saja! Eh, tapi bolehlah. Kubelikan kau kue ya!" Raut wajah Li berubah mendengarnya, kue lagi. Pasti akhir-akhirnya Mei makan sendiri semuanya.
Ternyata dugaan Li tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Mei membeli tiga kue lagi dengan sisa uang itu. Diberikannya satu kepada Li dan sisanya ia makan. Malam itu, ia makan lima potong kue sekaligus! Tak bersisa walau seremah pun.
Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan. Namun ada yang janggal, Mei diam saja. Ia juga melewatkan sarapan pagi ini. Ekspresi wajahnya menggambarkan suasana hati yang buruk. "Aduh, kau kenapa lagi, sih? Jangan diam terus. Bukannya jadi cewek kulkas, malah kelihatan nelongso banget, tahu!" Li sengaja sedikit merendahkan suaranya. "Aku belum bisa buang air besar! Perutku kembung sekali-," belum sempat kalimatnya selesai, mobil berguncang kuat sekali. "Hueekk!!" Mei reflek muntah di bajunya sendiri. "Pepatah bilang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Lihat 'kan akibatnya," Li masih sempat mengkritik. "Sok bijak!" Teriak Mei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H