Apa yang kurasakan saat itu? Duka atau Suka? Aku tidak tahu. Ketika kamu melihat orang lain bahagia, dan kamu benci itu. Seperti itulah rasanya. Bagaimana rasanya?
  Tulisan ini bukan tentang remaja yang tengah terjebak di suatu masalah rumit yang disebut 'cinta'. Tulisan ini adalah murni tentang segala kekacauan dalam pikiran gadis SMP berusia 13 tahun. Bukan cerita romansa benci jadi cinta. Namun perasaan yang tak bisa kuutarakan dalam dunia nyata. Dunia yang semua masalahnya harus diselesaikan dengan logika.Â
  Semua orang berhak bahagia. Bukan begitu? Ya, harusnya begitu. Mengapa melihat hidup bahagia orang lain seolah hal tabu bagiku? Seolah aku ingin segera menghancurkan semua itu. Iri, dengki, semuanya beradu dalam hatiku, bercampur menjadi satu. Kurasa seharusnya aku turut bahagia. Mereka berjuang keras mendapatkan itu bukan? Mereka berhasil mendapatkannya sekarang. Di sini aku juga sudah berjuang, bedanya aku gagal.
  Wajah-wajah bahagia ditunjukkan kepadaku, yang tidak pantas menunjukkan itu. Aneh. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Ingin mengamuk segila-gilanya... Kubuktikan pada mereka bahwa aku juga bisa, aku bahagia. Namun, ada yang menahanku, si Empati. Dia yang selalu muncul ketika aku dipenuhi oleh ego. Si Empati itu, berkali-kali menyakiti hidupku. Membuatku menyesali seluruh apa yang kuperbuat kala itu. Membuatku seolah menjadi orang paling jahat sedunia. Membuatku mengorbankan seluruh harapanku, seluruh yang aku mau.
   Akan kunantikan masanya nanti, saat aku sudah dapat berdamai dengan diri sendiri. Saat aku bisa memahami seluruh kekacauan ini.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H