Aku bercengkrama dengan Bapak di sepanjang jalan menuju rumah. Berawal tentang mainan, beralih ke konstelasi bintang. Bapak bilang, dulu belum ada yang tahu tentang konstelasi bintang. Tetapi, masyarakat percaya, ketika kita melihat bintang utara, bintang yang paling terang di langit utara, kita akan bisa melihat wajah orang yang kita sayangi di sana. Bintang yang menjadi petunjuk arah bagi nelayan. "Ada siapa di bintang sana Pak?" Aku bertanya, masih belum paham. "Ada Mamak dan Kekei di sana." Bapak tertawa renyah dan mencubit hidungku pelan. Hah, aku sungguh tak mengerti.
Sepuluh tahun terasa begitu cepat, mengingat begitu banyak hari yang kulewati tanpa Bapak. Meninggalkan aku, Mamak, dan adik-adikku di sini. Aku mempercepat langkahku menuju rumah, aku harus segera memasak dan mencari kayu bakar ke hutan. Apa persediaan pangan masih bisa mencukupi kami berempat? Semoga saja, itu yang kuharap.Â
Bohong kalau aku bilang hutan tidak menyeramkan saat malam tiba. Tadi aku berjalan mengitari hutan, mencari kayu bakar. Namun aku tergiur dengan jamur-jamur liar yang tumbuh di sekitarnya. Kupetiki satu persatu, tanpa sadar, aku menginjak lubang yang cukup dalam. Aku terperosok, kakiku terasa cedera, membiru. Baru saja aku susah payah keluar dari sana, hujan deras mengguyur hutan tanpa ampun. Ayolah hujan, kau punya masalah kepadaku? Huh.
Badanku menggigil, ini sudah sangat larut. Akhirnya hujan berhenti juga. Aku hendak melangkahkan kaki, berjalan pulang. Gawat! Aku lupa arah, sungguh, di mana aku sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H