Aku tergesa-gesa berlari ke luar rumah. Langit mendung abu-abu semakin gelap. Seolah menyimpan jutaan petir di dalamnya. Dengan terburu-buru, aku memindahkan seluruh kotak kayu di dermaga pantai, hasil melaut Mamak. Karena, kalau aku tak melakukannya, bisa jadi esok aku tak makan. Gulung tikar, itu mungkin istilahnya.
Setelah kupindahkan seluruh kotak itu, langit bak mengetahui pikiranku menurunkan seluruh hujannya. Beserta kilatan petir yang bersahutan. Bapak tak pulang lagi. Aku menghela nafas pelan. Sedikit kecewa, lebih tepatnya banyak, sih. Entah sudah berpa lama Bapak tidak pulang. Aku bahkan sudah tak kaget mendengar banyak gunjingan yang berseliweran. Karena aku pun tahu, bisa jadi Bapak sudah tidak di alam yang sama dengan kami. Aku rindu Bapak.
Adikku, Neta, menangis kencang di kamar. Tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya. "Sakit, kak," Neta berucap pelan, menahan rasa sakit. Ia sering sakit-sakitan, sesak napas. Namun aku tidak tahu, jenis penyakit apakah itu. Karena boro-boro berobat, bisa makan tiga kali sehari saja rasanya seperti sudah di surga. Aku memberinya segelas air putih yang kemudian ditenggaknya air itu hingga habis. "Sabar, ya, Net. Tahan dulu. Sebentar lagi Mamak pulang," aku berbohong, demi menenangkannya. Ini masih jam delapan malam, dan bisa jadi Mamak akan pulang jam dua belas nanti, tengah malam.
Aku menggeprek jahe, kunyit, dan mencampurkan asam jawa (tamarin). Kuaduk dengan air yang ada di dalam panci, api tungku semakin lama semakin meredup. Persediaan kayu untuk bahan bakar kian menipis. Besok, aku harus cari kayu lagi. Air telah mendidih, aku mengangkatnya dari tungku dan menuangnya ke cangkir. Alis adikku bertautan begitu kuberi ini. Hahaha, memang aku tak memakai gula karena kami tak memiliki barang itu. Pahit ya, seperti kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H