Mohon tunggu...
Syauqina Effendy
Syauqina Effendy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemimpi

Jangan tanya siapa aku karena aku juga belum tahu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Sang Mentari

3 November 2023   23:29 Diperbarui: 6 November 2023   22:17 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Satu-satunya janji yang paling dapat dipercaya di dunia adalah janji Sang Matahari. Janji Matahari kepada Bumi untuk selalu terbit kembali. Setidaknya, itulah yang kupercaya sebelum dua hari yang lalu. Dua hari yang benar-benar mengubah hidupku. Matahari tak lagi terlihat di ujung langit mana pun. Bisa dibilang, aku akan lebih lega bila Matahari nampak di ufuk barat. Apa ini sudah waktunya? Di mana semua orang akan mati, waktu yang sungguh ditakuti oleh seluruh makhluk hidup di Bumi. Hari akhir, kiamat.

    Bumi diliputi oleh salju tebal yang terus turun tanpa henti. Dengan langit gelap gulita tanpa secercah cahaya sekali pun. Umat manusia panik menyelamatkan diri, kecuali aku, yang masih berdiri menunggu di sini. Gempa berkekuatan 7,2  skala ritcher. Gedung-gedung hancur, termasuk apartemenku. Mana mungkin aku meninggalkan Ibuku? Oh, bukan, itu bukanlah Ibuku, itu hanyalah 'tubuh' Ibuku. Ibuku telah tega meninggalkanku, sendirian. Bagaimana aku bisa hidup tanpa Ibuku? Bagaimana aku bisa hidup tanpa mentariku? Cahaya penerang hidupku?

    Aku mengerang kesakitan, kupandang langit-langit tenda darurat ini. Evakuasi korban berjalan dengan cepat. Andaikan Ibu ada di sini. Mengapa Ibuku tidak abadi? Pertanyaan yang konyol. Walau kuakui, aku mempercayainya. Hal mustahil di dunia fana itu. Kupegang kakiku, ada tulang betis yang mencuat keluar dari sana. Kapan bencana ini akan berakhir? Apakah Tuhan benar-benar membiarkanku sendiri? Sunyi menggerayangi waktu, menemani duka. Aku menolak untuk percaya, bahwa Matahari benar-benar enggan menampakkan wujudnya. 

    Hari kedua, Matahari tetap belum juga muncul. Kota saat ini hanya diterangi oleh cahaya lampu yang membuat polusi. Salju semakin menggunung, bisa sampai tujuh senti seandainya tidak dibersihkan sama sekali. Baru saja terjadi gempa susulan, mayat-mayat dibiarkan membusuk begitu saja. Tempat dan kondisi tidak memungkinkan untuk dapat mengubur mayat-mayat itu. Termasuk Ibuku. Keluarga korban seharusnya mendatangi rumah sakit yang sekarang berubah menjadi tempat penampungan mayat. Namun sayangnya aku tidaklah sekuat itu.

   Hari ketiga, hari ini. Persediaan pangan menipis, krisis air bersih melanda. Bagaimana kita bisa mendapat air sedangkan semua air sudah menjelma menjadi lautan es? Aku sudah melewatkan makan siang, lagi. Untuk yang kesekian kalinya. 

   Wajah Ibuku seakan berbayang di langit yang tanpa awan, tanpa hujan, tanpa lembayung.  Langit yang kosong. Sirene darurat berbunyi, gempa kembali melanda. Lampu-lampu padam, keadaan menjadi kacau balau. Angin kencang seakan mengamuk, menghancurkan apa pun yang dilewatinya. Deburan ombak tsunami menyusulnya. Aku sudah tahu, hari ini, janji yang paling kupercaya telah kandas begitu saja. Kutundukkan kepalaku, memandang pijakan tanahku. Bumi telah diingkari. Janji Sang Mentari telah sirna, meninggalkan seluruh Bumi dan seisinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun