Aku terbangun, kulihat jam. Ini masih jam 3 pagi, masih 4 jam lagi acaranya dimulai. Udara dingin berkesiur kencang. Aku menggigil, tetapi tidak bisa tidur. Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Setelah 2 bulan lebih aku berlatih, akhirnya hari yang direncanakan tiba. Hari puncak pentas seni Kabupaten Probolinggo, babak grand final. Sudah lama aku ingin menjadi penari. Sedari umur 8 tahun, aku ingin menjadi penari yang ulet dan handal. Agak aneh memang, untuk seorang anak laki-laki. Sejak aku melihat mendiang ibuku, yang seorang penari, menari dengan setiap gerakan-gerakannya bagai kapas, ringan dan lembut, tapi dapat menjelaskan makna tersirat secara keseluruhan dalam tari tersebut.Â
  Kiprah Glipang, nama tari yang akan aku pentaskan.  Tari favorit mendiang ibuku, sebelum beliau meninggal, beliau terus memutar kaset rekaman tari tersebut. Tarian tersebut biasa ditarikan oleh 5 penari laki-laki. Beliau bermimpi melihatku menarikan itu suatu hari nanti. Sampai detik ini, aku masih menyimpan kaset tersebut. Selalu rutin kubersihkan dari debu-debu yang menempel, kulapnya dengan teliti, inci demi inci. Akhirnya, hari ini, aku akan mewujudkan mimpi beliau.
  Aku terlelap dalam mimpi. Wajah ibuku terlihat bersinar dalam mimpiku. Beliau tersenyum dengan hangatnya. Tak terasa 2 jam berlalu. "Le..bangun le, sudah jam 5." Suara lembut nenek membangunkanku. Mataku mengerjap-ngerjap, sudah jam 5. Aku harus segera bersiap-siap. Aku segera sholat subuh, mandi dan berganti kostum. Aku bercermin dengan bangga. Aku terlihat tampan dengan kostum ini.
  Aku berkumpul dengan teman-temanku di sanggar tari desaku. Kami akan berangkat bersama-sama menggunakan mobil pick up ke balai desa. Setelah sampai, aku mengobrol sebentar bersama teman-temanku, berusaha menghilangkan rasa gugup. Masih jam 6, 1 jam lagi. Aku memperbaiki kostumku. Panitia pentas mulai sibuk berseliweran, menyiapkan pentas. Speaker musik dan lampu panggung dinyalakan. Aku semakin gugup dan berusaha mengingat gerakan-gerakan tarian. Kami tampil giliran kelima, terakhir. Masih ada waktu.Â
  Setelah tari keempat selesai, tibalah giliranku. Aku dan teman-temanku mulai memasuki panggung. Musik dinyalakan, formasi sudah sempurna terbentuk. Kami mulai menari, beberapa penonton merekam kami. Nenek tersenyum bangga menyaksikanku. Waktunya pergantian formasi. Tiba-tiba alarm balai desa berbunyi. Tanah mulai bergetar dan retak. Ada gempa! Peserta ambyar berlarian kesana kemari tanpa tujuan. Atap pentas hampir ambruk, aku segera melarikan diri dengan teman-temanku. Aku panik mencari nenekku. Gedung balai desa sudah ambruk. Aku semakin panik, kucari nenek hingga ke sudut-sudut. Saat aku berlari, aku tersandung oleh sesuatu. Ada yang muncul dari tumpukan dinding ambruk. Itu tangan seseorang! Aku segera menyingkirkan tumpukan dinding. Tidak, tidak mungkin. Itu wajah nenekku! Wajah yang sedah terpejam dan berlumuran darah. Ku-cek tubuh nenekku yang sudah tidak bernafas lagi. Tidak, bukan, itu bukan nenekku. Air mataku mengucur deras. Aku menunduk.
   Sudah selesai, pertunjukan ini sudah selesai. Untukku.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H