Mohon tunggu...
Fachri Syauqii
Fachri Syauqii Mohon Tunggu... Lainnya - amor fati fatum brutum

seorang penikmat sastra yang terdampar di Sejarah Peradaban Islan UINSU

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Membaca Buku Tak Hanya Sekadar Jendela Dunia tapi Juga Mengetahui Imajinasi Dunia pada Diri Manusia

15 Oktober 2024   22:28 Diperbarui: 16 Oktober 2024   09:47 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Peraih nobel sastra terbaru bernama Han Kang menarik minat saya untuk membaca karya-karyanya. Penulis asal Korea Selatan ini membuat saya penasaran dengan model atau gaya menulisnya. Kalau dibilang sekadar menulis dengan sastra yang bertemakan trauma historis, para penulis sastra di Indonesia sangat banyak, sebut saja Sasti Gotama yang berjudul "Ingatan Ikan-Ikan". Tema traumatik historis itu terlihat kala ia bercerita tentang kegetiran etnis Tionghoa yang didiskriminasi oleh pribumi dengan mengambil konteks tahun 1998. Kemudian, secara imajinatif membayangkan sebuah penatu yang mampu menghapus ingatan buruk tetapi memiliki risikonya. Ada juga penulis sastra bertemakan sejarah yang saya kagumi dan pernah saya baca itu bernama Iksaka Banu, Eka Kurniawan, Ratih Kumala, Leila S. Chudori, dan lainnya.  

Tentu konteks itu berbeda dengan kondisi Korea Selatan dan dengan setting waktu yang berbeda. Bagaimana cara Han Kang meramu tulisannya hingga para juri meloloskan naskahnya. Bicara tentang kriteria pemenang nobel sastra seperti apa, ayo kita ulas. Haruki Murakami penulis Jepang yang juga mengangkat tema-tema kegetiran, baik itu dalam membicarakan seks dan sosial, pernah mengalami kegagalan untuk meraih nobel sastra. Dalam laman BlueRoseOne.com, kriteria yang paling vital adalah pandangan hidup (weltenschaung/world view).

Ini menarik, bagaimana mengulik asas pandangan hidup yang dipakai oleh para juri nobel sastra yang semuanya dari Swedia. Apakah hanya sekadar melihat seorang penulis untuk tidak memandang kewarganegaraan atau bahasa dalam karyanya, yang menyebabkan semua karya Pram ditolak karena menyinggung soal nasionalisme dan anti penjajahan. Lantas apa? Jelas hal tersebut pasti berhubungan dengan ideologi yang dianut dan saya curiga ketika para juri nobel sastra menganut ideologi Neo-Marxisme tapi sama sekali tidak mencitrakan hal tersebut.

Literasi Kita Dalam Keadaan Baik tapi Bukan untuk Euforia

            Masyarakat Indonesia kurang memiliki daya serapan setelah selesai membaca buku. Letak kekurangannya di mana? Apakah hanya sekadar kesalahan interpretasi dalam memahami bacaan. Atau jika ingin mengatakan secara gamblang, yaitu ketika kita membaca lalu kita bisa menganalisis secara kontekstual mengenai bacaan tersebut. Semisal bukunya Paulo Freire yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas" yang dianalisis kapan dan apa penyebabnya ia menulis buku itu, siapa yang mempengaruhinya, ideologi apa yang dia anut, apakah tulisannya itu bisa menjadi solusi bagi pendidikan yang ada di Indonesia. Tentu jika dibawa ke dunia pendidikan di Indonesia pasti jauh berbeda. Oleh karenanya, ramuan dari Paulo Freire sebagai tambahan untuk menemukan pil baru yang jitu sesuai dengan konteks keindonesiaannya.

            Sementara itu, ribuan buku dalam berbagai bahasa asing, terutama Inggris, siapkah kita untuk mengalih bahasakannya ke dalam bahasa Indonesia atau menginterpretasikan sesuai dengan konteksnya. Sejauh mana SDM kita terutama para akademisi yang tidak hanya fokus dalam penelitian tapi juga sekelumit administrasi borang demi akreditasi kampus. Ya, walaupun penelitian mereka menjadi bagian dalam meningkatkan akreditasi. Lalu, bagaimana para dosen menggenjot mahasiswanya untuk selalu berkarya dan menemukan penelitian terbaru, alih-alih kuliahnya hanya demi ijazah. Banyak PR yang harus kita benahi bersama.

            Pembicaraan saya dengan sahabat saya, Aly Reza, yang pernah mengobrol bersama Toto Rahardjo sudah malang melintang di LSM SALAM (Sekolah Alam) dan pendiri penerbit INSISTPress (Indonesian Society for Social Transformation), menyatakan bahwa seorang kutu buku seharusnya juga paham dan bergerak untuk kemaslahatan sosial, terutama terjun langsung dalam mendidik masyarakat Indonesia. sehingga kita bisa memahami pola pendidikan berbagai lapisan masyarakat. Selama perjalanan saya pun, saat para pembeli buku ditanya mengenai kenapa mereka gemar membaca. Jawaban mereka cukup baik, tidak hanya sebatas menyukai tapi juga sebagai investasi jangka panjang. Meski investasi bukan cuma uang, setidaknya akal perlu mendapat vitamin.

            Pemaknaan literasi juga tidak sebatas menulis, membaca, diskusi, foto, maupun daya mengolah informasi. UNESCO sendiri mendefinisikan bahwa literasi adalah keterampilan dalam membaca dan menulis yang tidak terikat pada konteks dan keadaan tertentu. Bahkan siapa pun bisa memperolah ilmu pengetahuan, semisal driver ojol yang memahami pikiran neo-marxis, memahami sains, atau peristiwa sejarah lainnya. Pasti dia akan diejek oleh anak S3 karena latar pekerjaannya. Dibilang sok tahu atau sok jago, bisa juga dibilang gajimu tidak cocok untuk ngomong hal begitu. Itulah permasalahan kita saat ini. Terlepas dari cara penyampaian yang menggurui. Tapi, tidak ada koneksi ilmu pengetahuan dalam lapisan masyarakat. Atau bahkan mereka hanya sebatas menulis blog pribadi karena tulisannya tak pernah dimuat oleh media besar. Memangnya kau siapa? Kita semua sepakat bahwa pendidikan itu penting, tapi kenapa kita tidak memberi kesempatan kepada mereka.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun