Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Kegelisahan di Halaman 411 dan 212

3 Desember 2016   09:13 Diperbarui: 3 Desember 2016   09:29 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nusantaran.com

Aksi damai yang melibatkan ribuan umat Islam baru saja selesai: kalau itu tidak ada lagi aksi susulan. Hiruk pikuk di sekitar aksi masih saja terus terngiang. Ribuan orang hanya mengahadapi satu orang: Ahok versus (sebagian) umat Islam. Kasusnya sebenarnya cukup sederhana: penistaan agama. Tuntutannya lebih sederhana lagi: adili Ahok, atau tepatnya penjarakan dia.

Kasus kecil yang ditiup oleh angin sentimen keagamaan akan dengan cepat menyebar dan menjadi besar. Agama kok dihina, al-Quran kok dianggap kebohongan, Tuhan kok disepelekan dan seterusnya. Sentimen ini sampai menyeruak masuk ke pelosok-pelosok desa; maka orang-orang awampun yang tidak tahu pasti duduk persoalannya ikut juga terpancing; berebutan datang ke Jakarta! Ada banyak selebaran yang disebarkan dan dibacakan di masjid-masjid, sebelum atau sesudah shalat Jum’atan, atau pada acara-acara pertemuan dan kompolan, dalam tradisi orang Madura.

Di tengah kerumunan umat pada aksi 411 dan 212, saya hanya tercengang: umat yang mayoritas, betapa sangat minoritas. Menang jumlah tapi kalah kuasa: ada kekuatan raksasa di balik seorang Ahok. Suatu konspirasi rahasia yang sudah terancang rapi dalam agenda kapitalisme global. Ahok bukan hanya Ahok: ada kepentingan yang bermain di luar tubuh Ahok. Ia hanya pelaksana: semacam petugas lapangan kata Cak Nun. Panitia pekerja kebijakan yang dipesan dari luar.

Pasalnya, mayoritas di negeri sendiri ternyata bukan syarat yang cukup untuk berdemokrasi. Apalagi demokrasi yang berasaskan uang dan kebodohan. Catatan sejarah di masa silam menunjukkan banyak kemenangan golongan (Islam) yang minoritas terhadap golongan yang mayoritas. Sekarang menjadi terbalik. Sebagaimana pesan Nabi; suatu hari umat Islam seperti sebuah hidangan di atas meja makan: dikerumuni oleh tangan-tangan kekuasaan. Jumlah mereka banyak, tapi tidak bisa mengelak. Seseorang bertanya: apa yang menyebabkan semua itu Nabi? Orang yang paling suci dan lembut hatinya itu menjawab: kecintaan yang luar biasa terhadap dunia dan ketakutan yang berlebihan terhadap kematian.

Demokrasi kita ini hanyalah demokrasi dari rakyat, itupun harus ditopang dan diumpan dengan uang jajan. Dan yang pasti, bukan untuk rakyat. Kalau tertalu ekstrim: sebagian besar bukan untuk rakyat!.Kalau cangkul saja ngimpor ke Tiongkok, tenaga kerja kasar juga ngimpor, pasar tembakau dihancurkan, garam dibiarkan, terus rakyak mau ngapain: pasar mereka sudah diberebut oleh pihak asing. Mereka lalu cukup dihibur dengan kartu mainan, seperti anak kecil yang sudah senang dengan hanya dibelikan manisan.

Agama dan Kebodohan-kebodohan

Kealiman dalam beragama hanya ditandai dengan dua hal: ilmu yang banyak dan rasa takut kepada Tuhan. Lalu lahirlah apa yang disebut-sebut oleh kita sebagai ulama, ilmuan, kiai, utadz dan sejenisnya. Ilmu yang banyak ini bisa diditeksi dari cara berpikir, sudut pandang yang luas, ketajaman analisis, keahlian mengatasi masalah, dan lain hal yang terkait. Sementara rasa takut kepada Allah biasanya ditengarai dari sikap keseharian dan kehati-hatian dalam bertindak, akhlak yang baik dan ketekunan dalam menjaga kebenaran dan kesabaran. Dan bisa terus ditambahkan opsi-opsi yang lain.

Nabi juga memeberikan satu statement bahwa kecerdasan adalah kemampuan mengendalikan diri dan melakukan sesuatu untuk kepentingan pasca kematian. Kemampuan mengendalikan emosi hari ini, sebagimana terlihat dari beragam peristiwa yang terjadi, sudah memasuki kategori yang langka. Kita terbiasa terburu-buru dan tergesa-gesa dalam menyelesaikan persoalan. Akibatnya: sudut pandang jadi sempit, daya kritis hilang, kehati-hatian tak diperhitungkan, kesabaran dihilangkan: yang penting tuntutan segera dikabulkan. Allahu akbar: dan kita sudah erasa senang.

Cara instan seperti ini jelas bertentangan dengan semangat Al-Quran: kitab suci yang justru sedang dibela. Allah menciptakan alam dunia melalui sebuah proses, sebagaimana manusia juga diciptakan melalui satu rangkaian hukum yang teratur dan sistemik. Hidup juga berupa anyaman dari benang-benang perjalanan horizontal dan vertikal yang berkesinambungan dan prosedural. Kun fayakun hanya dalam kuasa Tuhan. Dan kita sebagai hambanya harus meneliti sebab-sebab (hukum alam) secara keseluruhan dengan penuh kesabaran dan kecerdasan.

Sesuai perspektif di atas, kebodohan tak bisa ditoleransi; ia adalah sebuah dosa dan musuh bersama. Kebodohan hanya melahirkan ketergesaan dan itu adalah perbuatan setan. Kebodohan adalah akar masalah yang harus segera dituntaskan. Sayyidina Ali melarang keterlibatan orang-orang yang bodoh dalam membela agama. Ibnu Ruysd mengingatkan bahwa orang-orang bodoh akan dengan mudah diperdaya dengan kebatilan yang dibungkus agama. Gus Mus berkata yang kira-kira maksudnya begini: orang yang suka berdalil (butuh dalil) adalah orang yang masih bodoh dalam beragama (belum malakah).

Terkait kasus Ahok, ada banyak dalil yang berseleweran: dalil yang mendukung dan yang menentang. Kesalahan lain adalah menjadikan Ahok dengan kasus penistaan agamanya sebagai fokus tuntutan: padahal masih ada kesalahan Ahok yang lebih parah dan merugikan umat Islam. Membela kemanusiaan adalah kewajiban lebih asasi dari sekedar membela agama. Al-Quran tetaplah al-Quran: kitab suci yang sudah dijaga oleh Allah sendiri. Membela al-Quran tanpa membela kemanusiaan adalah sebuah kebodohan yang kentara: apakah kalian pikir Tuhan sudah tidak sanggup menjaga firmanNya sehingga kalian harus turun tangan untuk ikut membelanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun