Kearifan ini berlangsung cukup lama, sejak masa awal kemerdekaan dengan munculnya sosok leluhur masyarakat Lapa Taman, sebagai tokoh fenomenal juru tembang dan tegghes sekaligus, yaitu Kiai Sekar, yang terus dilanjutkan oleh keturunannya, Kiai Sahir, sampai sekarang bersama segelintir masyarakat melalui langgar yang mereka dirikan atau kompolan yang mereka adakan. Namun, diakui oleh Ki Habarudin, yang menyebutkan diri sebagai keturunan dari Kiai Sekar, dengan mengatakan bahwa “sejak tahun 80-an, kearifan lokal tersebut sudah mulai luntur, terutama sejak berdirinya sekolah-sekolah formal dan masuknya televesi ke rumah-rumah,” tuturnya dengan nada penyesalan.
Melihat realitas secara objektif, antara cerita Ki Habarudin tentang Lapa Taman masa lampau dengan Lapa Taman masa kini, terdapat situasi sosial yang sungguh berbeda. Apresiasi terhadap karya seni macapat warisan para leluhur tidak lagi menjadi bagian tradisi yang mengikat, yang menempatkan orang-orang yang tidak tahu tembang macopat sebagai orang yang tako’ ka tera’na damar. Bahkan di desa yang lain, seperti diceritakan oleh Ki Kusumo, tokoh masyarakat desa Candi, bahwa “kompolan macopat yang saya adakan bersama para sesepuh dari desa Candi, Jenangger, Totosan dan Nyabakan Barat, hanya diikuti oleh golongan tua yang berjumlah belasan orang.” Kenyataan ini menunjukkan betapa daya minat generasi muda terhadap kenesian mamaca sudah mulai rendah dan perlu (di)rekonstruksi ulang, entah terhadap pola pikir generasi sekarang, atau karya seni itu sendiri.
Sudah tidak dapat dihindari, tradisi macama mulai terpingginggirkan dengan masuknya nilai-nilai baru yang diekspor oleh pihak asing, bukan hanya pada lingkup kecil masyarakat Lapa Taman, tetapi juga ruang yang lebih luas: Sumenep dan Madura. Karya adiluhung tembang-tembang mamaca dengan kompleksitas nilai-nilainya, belakangan ini kalah bersaing dengan karya seni-seni pop yang tidak jelas nilai estetikanya. Lagu-lagu “instan” hasil berbagai genre musik, entah dangdut, koplo, pop, rock, dan jazz telah berhasil merebut ruang perhatian generasi muda Madura dan sedikit demi sedikit mulai berpaling dari akar kebudayaan sendiri. Bahkan, musik gambus dan qosidah yang diklaim “musik islami(?)” oleh sebagian kalangan dan sama sekali tidak punya pijakan kultur yang jelas di Madura, menjadi semakin laris manis dan telah mengganti selera seni sebagain masyarakat Madura.
Diperlukan usaha serius dan tidak tanggung-tanggung: orang-orang pesantren (kiai dan santri) harus turun seperti dahulu kala untuk membangun kebudayaan masyarakat akar rumput, dengan mendaur ulang tradisi lokal dan menggelar pentas kesenian yang sarat dengan nilai keluhuran dan kearifan. Sudah terlalu banyak orang yang terjebak dalam gemerlap industri semacam dangdut academy, terong show dan acara serupa yang mempertontonkan budaya glamor. Masyarakat perlu keseimbangan, dan untuk melakukan itu semua, tidak cukup hanya dengan mengandalkan ceramah agama dan bahtsul masail.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H