Sirkulasi Mantan Penguasa dan Harapan Koalisi Rezim dengan PDI-P
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kini semakin sering muncul di beranda media sosial dan media mainstream. Ketertarikan publik terhadap partai ini tidak terlepas dari komitmennya terhadap ideologi Marhaenisme yang diwariskan oleh para proklamator. Berbagai isu, termasuk penjegalan kader dan kriminalisasi terhadap anggotanya yang dilakukan oleh mantan penguasa, menjadi sorotan utama, menunjukkan bahwa PDI-P masih memiliki daya tarik yang kuat di kalangan masyarakat.
Penjegalan terhadap kader PDI-P yang ingin berkompetisi dalam pilkada serentak dan penetapan Sekjen PDI-P sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi oleh KPK menunjukkan adanya upaya sistematis untuk melemahkan partai ini. Kejadian ini menciptakan kesan bahwa ada kekuatan besar di belakangnya yang berusaha menghentikan langkah PDI-P, menimbulkan pertanyaan di benak publik mengenai motivasi di balik tindakan tersebut.
Kisah pahit antara PDI-P dan mantan Presiden RI ke-7 mencerminkan adanya hubungan yang rumit antara elit politik. Sejarah konflik ini menunjukkan bahwa peristiwa yang dialami PDI-P saat ini mungkin merupakan bagian dari balas dendam mantan penguasa. Publik bertanya-tanya, apakah ada usaha untuk meredam pengaruh PDI-P dalam politik Indonesia pasca pemilu. Masa transisi pemerintahan merupakan salah satu alasan yang cukup logis untuk membenarkan bahwa sirkulasi kekuasaan dari mantan Presiden masih bersemayam dalam tubuh pemerintahan saat ini.
Masa transisi pemerintahan sering kali menjadi periode yang penuh dengan intrik politik. Dalam konteks ini, peran PDI-P sebagai partai oposisi sangat penting. Namun, saat ini tampaknya penguasa masih mempertahankan sirkulasi kekuasaan yang melibatkan mantan presiden, sehingga PDI-P terpinggirkan dari kekuasaan yang ada.
Penetapan Sekjen PDI-P sebagai tersangka oleh KPK memicu berbagai spekulasi di masyarakat. Apakah ini murni proses hukum atau ada agenda politik di baliknya? Dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku dan mantan KPU pada pemilu 2019 menambah kompleksitas situasi, menunjukkan bahwa hubungan antara KPK dan partai politik mungkin tidak seindah yang dibayangkan.
Saat ini, PDI-P tampaknya belum siap untuk berperan dalam pemerintahan. Ketiadaan posisi dalam kabinet menunjukkan bahwa partai ini memilih jalur oposisi, yang tentu bukan tanpa alasan. Sejarah mencatat bahwa PDI-P pernah menjadi kelompok oposisi yang konsisten, terutama selama Era Orde Lama dan Reformasi.
Sebagai partai wong cilik, PDI-P selalu berusaha menjaga suara rakyat. Ideologi Marhaenisme menjadi landasan utama bagi PDI-P dalam mengambil posisi, baik saat berada di dalam pemerintahan maupun ketika menjadi oposisi. Hal ini menunjukkan bahwa PDI-P tetap berkomitmen pada jati dirinya sebagai pembela rakyat kecil.
Kemenangan PDI-P pada pemilu 2014 menjadi momen penting dalam sejarah partai ini. Dengan mengusung calon presiden dari kalangan wong cilik, partai ini menunjukkan bahwa kekuatan rakyat bisa membawa seseorang ke puncak kekuasaan. Namun, keinginan untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tantangan tersendiri bagi partai ini.
Permintaan untuk memperpanjang masa jabatan presiden ditolak oleh PDI-P, yang menunjukkan bahwa partai ini tetap berpegang pada prinsip konstitusi. Ketegangan antara penguasa dan partai mencerminkan adanya perbedaan visi antara elit politik dan akar rumput.