Di ladang sunyi, dengan keranjang penuh harap, Â
Perempuan menanam benih luka di tanah kering, Â
Menggenggam air mata, menyiramnya dengan sabar, Â
Mencari cinta dalam bayang-bayang yang hilang.
Dengan tangan bergetar, dia memetik duri, Â
Setiap sayatan, sebuah cerita terukir, Â
Di balik senyum, tersembunyi jiwa yang letih, Â
Menghitung luka, seolah itu emas yang berkilau.
Dia berjalan di antara ilusi dan kenyataan,
Menghargai setiap tetes darah yang jatuh,
Menjadi petani di ladang rasa, Â
Memanen luka, menuai duka.
"Oh, dunia," serunya, "apa kau tak lihat?Di balik tawa ada jeritan yang terpendam,
Aku menggarap tanah ini, penuh harapan,
Namun yang tumbuh hanya ranting patah dan kelam."
Kita semua di sini, menyaksikan drama, Â
Perempuan yang berjuang di atas luka-lukanya, Â
Namun siapa yang peduli, siapa yang mengerti, Â
Bahwa dia adalah pahlawan di medan sepi?
Kita bertepuk tangan, merayakan luka, Â
Menjadi hiburan dalam panggung sandiwara, Â
Tapi ingatlah, di balik setiap cerita, Â
Ada perempuan yang memanen luka, menanti cahaya.
Paji Hajju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H