Retribusi kantin sekolah muncul sebagai wacana untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. Dengan potensi pendapatan yang signifikan dari kantin-kantin yang tersebar di ribuan sekolah, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan sumber pendapatan daerah.
Sebagai contoh, Kantin di SMA 32 Cipulir membayar Rp5 juta per tahun. Jika ada 14 kantin, total pendapatan mencapai Rp70 juta dari satu sekolah. Ini menunjukkan potensi besar yang bisa digali.
Sutikno, sebagai perwakilan Pemprov DKI Jakarta, mengusulkan pendataan kantin untuk menggali potensi retribusi. Hal ini menunjukkan bahwa ada rencana strategis untuk mengoptimalkan pendapatan daerah melalui sektor pendidikan.
Plt Kepala Dinas Pendidikan, Purwosusilo, menyatakan dukungannya untuk merancang regulasi yang memadai. Ini penting agar pengelolaan kantin bisa berjalan sesuai ketentuan hukum.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jakarta menolak usulan retribusi kantin. Mereka berpendapat bahwa fokus harusnya pada sumber pendapatan lain yang tidak membebani usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sekolah.
Kantin Sekolah: Tempat Makan atau Investasi Masa Depan?
Partai NasDem juga menolak retribusi kantin, menganggapnya sebagai langkah yang menyusahkan pedagang. Mereka mengusulkan solusi yang tidak membebani siswa atau kualitas pendidikan.
Wibi Andrino dari Partai NasDem menyoroti potensi dampak negatif dari retribusi terhadap kualitas makanan di kantin. Kenaikan biaya operasional bisa menyebabkan penjual memilih bahan murah, yang merugikan kesehatan siswa.
FPKB mendorong Pemprov untuk fokus pada pengembangan UMKM di sekolah, agar mereka bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja. Ini lebih berkelanjutan daripada mengandalkan retribusi dari kantin.
Di tengah hiruk-pikuk wacana retribusi kantin sekolah, muncul suara-suara kritis yang seolah ingin mengingatkan kita bahwa tidak semua hal bisa dibiarkan bersinar. Mari kita simak beberapa pandangan ini:
- Kenaikan Harga yang Mencengangkan: Bayangkan, penarikan retribusi ini seperti memberi lampu hijau kepada pedagang kantin untuk merayakan kenaikan harga! Murid-murid kita yang masih berjuang di tengah kesulitan ini mungkin akan memilih untuk berpuasa, ketimbang merogoh kocek lebih dalam hanya untuk sepotong roti isi.
- Keadilan yang Terabaikan: Dalam dunia yang penuh ketidakadilan ini, retribusi kantin bisa menjadi bumerang! Di satu sekolah, murid-murid berpakaian mahal dengan tas branded berjejer, sementara di sekolah lain, anak-anak dengan sepatu jebol berjuang untuk mendapatkan snack. Apakah kita ingin menambah ketidakadilan dengan kebijakan yang sama untuk semua?
- Beban untuk yang Sudah Terbebani: Dan yang paling ironis, siapa yang paling terkena dampak dari retribusi ini? Tentu saja para pemilik kantin yang sebagian besar berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Seolah-olah kita ingin mendorong mereka untuk beralih profesi menjadi pemilik pesawat luar angkasa, karena hidup di dunia kantin sekolah kini tak lagi seindah yang dibayangkan.