Manusia adalah makhluk yang selalu merasa kurang puas. Satu pertanyaan terjawab, sepuluh pertanyaan baru muncul. Dari mana kita berasal? Kenapa kita di sini? Apakah ada kehidupan setelah mati? Pertanyaan-pertanyaan ini sering menjadi topik hangat di warung kopi, di mana jawaban yang paling logis sering kali datang dari mereka yang paling tidak mengerti.
Dengan akal yang diberikan, manusia menciptakan teknologi. Namun, teknologi ini seakan lebih menjadi alat penghancur ketimbang penyelamat. Dari smartphone yang membuat kita terasing, hingga mesin yang menggantikan tenaga manusia, akal kita justru menjebak kita dalam kesibukan yang tiada henti.
Manusia, si pencinta eksploitasi, terus merusak bumi untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu. Hutan ditebang, laut tercemar, dan hewan pun terpaksa kehilangan rumahnya. Dalam pencarian kesenangan, manusia lupa bahwa bumi bukan hanya miliknya, tetapi juga milik generasi mendatang.
Perempuan di zaman jahiliyah dianggap tidak berharga. Sayangnya, di era modern pun, masih ada yang berpendapat demikian. Meskipun Islam menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, banyak yang masih berpegang pada dogma kuno yang merendahkan kontribusi mereka dalam masyarakat.
Stereotip bahwa perempuan hanya mampu mengandung dan mendidik anak perlu diubah. Di bidang politik, ekonomi, dan sains, perempuan telah membuktikan bahwa mereka bisa lebih dari sekadar ibu rumah tangga. Namun, masyarakat masih sering menolak untuk mengakui kenyataan ini.
Perempuan, sebagai makhluk yang diberi kelebihan untuk melahirkan dan mendidik, sering kali dihadapkan pada ekspektasi yang tidak realistis. Tugas mereka dianggap mulia, tetapi sering kali diabaikan dan tidak dihargai oleh masyarakat, terutama oleh kaum pria.
Ibu adalah pendidik utama dalam kehidupan anak. Namun, siapa yang mengakui betapa besar tanggung jawab ini? Dalam masyarakat yang serba cepat, peran ibu sering kali dianggap sepele, padahal mereka adalah pilar pertama dalam membentuk karakter generasi mendatang.
Baik buruknya seorang anak sangat dipengaruhi oleh sosok ibunya. Namun, mengapa masyarakat masih sering menyalahkan perempuan ketika anak-anak berperilaku buruk? Tampaknya, beban tanggung jawab ini hanya dipikul oleh ibu, sementara ayah sering kali lepas dari tanggung jawab.
Perempuan diharapkan untuk menjadi sosok yang sempurna: pekerja, ibu, dan istri yang ideal. Namun, siapa yang mendukung mereka dalam menjalankan peran-peran ini? Sering kali, dukungan yang diharapkan justru hanya ada dalam angan-angan belaka.
Rasulullah menyatakan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Namun, apakah masyarakat benar-benar menghargai posisi ini? Dalam banyak situasi, pengorbanan seorang ibu sering kali dianggap sebagai kewajiban, bukan sebuah penghargaan.