Di tengah kerumunan yang bersemangat untuk meneladani, seringkali kita lupa bahwa meneladani bukanlah sekadar meniru habis-habisan. Alih-alih menjadi teladan yang baik, kita justru terjebak dalam pola perilaku yang tidak autentik. Seolah-olah menjadi "the chosen one" itu hanya soal mengenakan jubah dan mengucapkan kata-kata bijak, tanpa menyadari bahwa perjalanan menuju status tersebut melibatkan proses yang jauh lebih kompleks daripada sekadar mengikuti tren.
Sementara itu, kita terpesona oleh kisah Nabi yang dulunya hanyalah manusia biasa. Dalam kebingungan kita, sering kali kita lupa bahwa proses penggemblengan itu melibatkan tantangan, pengorbanan, dan tentu saja, wahyu yang tidak bisa dipahami dengan logika sehari-hari. Namun, di era media sosial ini, tampaknya semua orang merasa berhak untuk mengklaim "wahyu"Â mereka sendiri. Akhirnya, banyak yang lebih memilih untuk menjadi influencer spiritual daripada mendalami makna sebenarnya dari ketuhanan.
Wahyu Tuhan: Gak Ada yang Bisa Pre-Order!
Kita seolah-olah mendahului prerogatif Allah ketika kita berusaha menjadi lebih dari sekadar manusia biasa. Dalam upaya mengejar gelar "Nabi" versi kita sendiri, kita mulai mengabaikan batasan-batasan yang ada. Kita menganggap diri kita lebih berhak atas pengetahuan ilahi dibandingkan dengan yang diturunkan kepada para Nabi. Tentu, ini semua demi sebuah pengakuan dan perhatian publik, bukan?
Ketika kita berbicara tentang "jangan melebihi iradah Tuhan," mungkin kita perlu merefleksikan seberapa jauh kita sudah melangkah. Dalam kesibukan kita untuk menonjol, kita lupa bahwa menjadi manusia biasa dengan segala kekurangan dan batasan adalah sebuah anugerah. Mungkin, alih-alih berusaha menjadi "the chosen one," kita sebaiknya fokus pada bagaimana menjadi "the humble one" yang memahami posisi kita di hadapan Tuhan dan sesama.
Dalam kesibukan kehidupan modern, kita sering terjebak dalam ilusi meneladani. Kita mengenakan atribut keagamaan, seolah-olah bisa mengklaim gelar "Nabi" hanya karena kita mengenal ajaran-Nya. Namun, satu pertanyaan mendasar patut diajukan: sudahkah kita memahami esensi dari teladan tersebut, atau hanya sekadar meneruskan tradisi tanpa makna?
Banyak yang berusaha meneladani Nabi Muhammad SAW, tetapi tak jarang tindakan mereka justru berlawanan dengan ajaran beliau. Senyum yang seharusnya menjadi sedekah, malah tergantikan dengan wajah sangar yang menakutkan. Apakah kita telah melupakan bahwa senyum itu adalah jendela hati yang seharusnya kita tunjukkan kepada sesama?
Di tengah konflik yang berkepanjangan, kita lebih memilih untuk bertengkar daripada berdamai. Nabi mengajarkan pentingnya persatuan, tetapi kita justru mengedepankan ego dan kepentingan pribadi. Apa yang terjadi dengan ajaran yang seharusnya menuntun kita ke jalan kedamaian?
Nabi mengganti nama-nama buruk dengan nama baik sebagai bentuk kasih sayang, sementara kita lebih suka memberikan label negatif kepada orang lain. Gelar buruk yang kita berikan justru mencerminkan sifat kita sendiri. Ironis, bukan? Kita mengklaim sebagai umat Nabi, tetapi tindakan kita justru menjauhkan dari ajaran-Nya.
Ketika Nabi merahasiakan kemunafikan orang lain, kita justru berperan sebagai detektif kemunafikan. Keterampilan kita dalam mengungkap keburukan orang lain seolah menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, di mana letak rahmat dan kasih sayang yang diajarkan oleh Nabi?